Minggu, Februari 27, 2011

Affection versus lust

“is affection the same as lust?”

Untuk menjawab pertanyaan di atas, aku bertanya kepada (hanya) dua orang perempuan – both are in their mid thirties and both failed in their first marriage – yang kebetulan tidak keberatan untuk share pengalamannya kepadaku.

Affection merupakan bagian dari ‘love’ alias cinta dimana mereka berdua memiliki pandangan yang begitu sakral terhadap cinta; cinta adalah segala hal yang indah, selalu saling mengerti antara mereka yang terlibat di dalamnya – between spouses, between parents and children and vice versa. Jika terjadi kesalahpahaman, maka cinta akan menjadi jembatan untuk kembali menjalin pengertian.

Komunikasi merupakan salah satu media yang dianggap paling tepat untuk menunjukkan afeksi ini. Sedangkan untuk body language, mereka menyebut memeluk dan mencium – ciuman yang tanpa dorongan ‘lust’ – untuk mengekspresikan afeksi mereka kepada (eks) pasangan maupun anak-anak.

‘Lust’ merupakan bagian dari seks dimana dalam kultur patriarki ini laki-lakilah pemegang kontrol utama. Meski ada ‘pemeo’ yang mengatakan “perempuan yang menjadi idaman laki-laki adalah perempuan yang membuat laki-laki bangga tatkala masyarakat memandang sang pasangan sebagai seseorang yang cantik jelita di ranah publik, seorang koki paling jempolan di dapur, dan bertindak ala pelacur kala di tempat tidur”, tetap saja yang didengung-dengungkan di kultur patriarki ini seks adalah sesuatu yang lebih mengacu kepada kaum yang memiliki penis. Perempuan harus menunggu isyarat dari kaum laki-laki kalau tidak ingin dianggap murahan. Jika laki-laki boleh berpoligami dan menunjukkan keperkasaannya di tempat tidur untuk ‘memuaskan’ semua istrinya, maka perempuan akan dianggap ‘bitch’ alias ‘slut’ jika melakukan hal yang sama karena sangat ‘tidak natural’.

Stereotype tentang pandangan akan seks ini masih saja sangat kuat di tengah masyarakat – mungkin terutama kepada kaum perempuan yang telah berusia in their mid thirties and above – sehingga mereka pun ‘dipaksa’ untuk memiliki kontrol diri akan seks yang sangat kuat. Barangkali akan berbeda jawaban yang kuterima jika yang kujadikan narasumber adalah mereka yang berusia di bawah mid thirties dan sejak kecil hidup di kota besar dimana mungkin dikotomi ranah publik versus ranah domestik tidak begitu besar, terlebih lagi jika mereka dibesarkan dalam sebuah keluarga dimana orangtua mereka tidak terlalu membedakan perlakuan terhadap anak laki-laki dan perempuan, juga mereka tidak menggap tabu untuk berbincang tentang seks kepada anak-anak mereka.

Maka bisa dipahami jika kedua perempuan ini beranggapan bahwa pengalaman seks yang mereka miliki dengan eks melulu berhubungan dengan lust – yang merupakan hawa nafsu yang sangat manusiawi untuk dimiliki baik laki-laki maupun perempuan yang konon merupakan ‘gift’ dari Tuhan – dan tidak tersangkut paut dengan affection yang selalu bermakna ‘saling mengerti’. Apalagi jika dihubungkan dengan ‘kenyataan’ bahwa sang eks – salah satu dari kedua perempuan itu – adalah seorang yang hyper. Sang mantan selalu menuntutnya siap untuk ‘bertempur’ di tempat tidur apa pun dan bagaimana pun kondisi sang istri. Maka sangat masuk akal jika lust – yang merupakan cikal bakal dari seks – berkonotasi sangat negatif bagi sang perempuan.

In short, dari uraian pendek dalam postingan ini, maka jawaban dari pertanyaan di atas – “is affection the same as lust?” – adalah TIDAK.
--------- ---------- ----------
P.S.:
1. jawaban bisa jadi akan sangat berbeda jika narasumber pun berbeda
2. I will be very happy if there is any woman who is willing to share her experience with me. Please send me any answer to my inbox. Thank you.
GL7 21.29 280211

P.S. (2):
  • affection : a natural state of mind or body that is often associated with a feeling of love. It is popularly used to denote a feeling or type of love, amounting to more than goodwill or friendship.
  • lust : is an emotional force that arises from the psychological action of thinking or fantasizing about sex.

Rabu, Februari 23, 2011

Love, lust, and sex

"Is love the same as sex?"

Pertanyaan di atas kulontarkan ketika di kelas "Religious Studies" kita mulai membahas tentang "beliefs about love and sex". Siswaku mengatakan cinta tidak sama dengan seks. Seks bisa dilakukan tanpa cinta, sedangkan cinta -- yang dimaknakan sebagai "a close attachment to another person" dalam modul yang kuambil dari Relationship -- sangat memungkinkan kedua belah pihak (atau mungkin juga lebih dari 'hanya' dua orang?) untuk melakukan seks -- yang dimaknakan dalam modul sebagai "sexual intercourse". Meski kata cinta sendiri bisa dikategorikan dalam beberapa hal, cinta orang tua kepada anak atau sebaliknya, cinta antarsaudara, kakak maupun adik, dan cinta antara boyfriend dan girlfriend atau pun suami dan istri. Dalam tulisan ini, kata cinta dimaknakan sebagai cinta sepasang kekasih (suami istri termasuk kategori ini).

Dalam kelima agama yang kita bahas – Christianity, Hindu, Islam, Judaism, dan Sikhism – tak satu pun agama yang membolehkan sepasang kekasih untuk melakukan sexual intercourse sebelum menikah.

Dalam Christian views, dikatakan “Christian teaching is generally that sexual intercourse is wrong unless it happens within a marriage. God intended men and women to live together as married couples but not to live together outside marriage. (“Flee from sexual immorality” => I Corinthians 6: 18-19)

Hindu views mengatakan “Sex is considered a good thing which is to be enjoyed as one of the duties of marrie life, ... self-control is an important aspect of Hindu teaching, so sexual intercourse has to take place between married couples only.”

Islam mengatakan “sexual intercourse is an act of worship that fulfills emotional and physical needs as well as being procreative. ... it is a   gift from Allah and therefore can only take place within a married relationship."

Sementara itu, Jewish views percaya bahwa “sexual intercourse is a very important part of human relationships but only as part of marriage. ... the purpose for sex is not just to have children: it is also for married people to demonstrate their love for each other.”

Sejalan dengan empat agama di atas, Sikhism juga percaya bahwa “sex has to be limited to married couples and pre-marital (before marriage) or extra-marital (outside marriage) sex is forbidden.” Ini karena Sikh teaching mengedepankan “chastity” dan “cleanliness” maka segala sesuatu yang mungkin akan merusak tubuh harus dihindari.

LOVE versus SEX

“Will love always end up with sex?”

Meski pada awalnya my students mengatakan “not always” untuk menjawab pertanyaan di atas, akhirnya mereka toh mengakui bahwa sex adalah salah satu “tujuan” setelah mungkin bosan dengan hanya sekedar berbincang, saling bertatapan, memeluk, dan berciuman. Let’s say setelah berpacaran selama sekian tahun.
Beberapa alasan mengapa mereka lebih memilih menghindari seks:
  1. Takut dosa dan masuk neraka
Menurutku pribadi ini bukan alasan yang ‘benar-benar membuat para remaja yang keingintahuannya tentang seks besar’ tak mau mencoba, karena jawaban ini tentu dilatarbelakangi ‘brainwashing’ tentang ajaran agama yang mereka terima sewaktu masih kecil. I want my students to use their critical and logical thinking to view this stuff. Dan akhirnya aku pun menemu jawaban yang kedua.

2. Hamil outside the wedlock
Selain malu – karena judgment society yang hypocrite – juga kemungkinan pendidikan mereka akan terganggu. Lagi-lagi ambiguitas masyarakat yang menganggap siswa (perempuan) yang hamil di luar nikah harus dikeluarkan dari sekolah, sehingga mereka akan kesulitan untuk mengakses pendidikan.
Ketika membahas kemungkinan hamil outside the wedlock ini ada seorang siswa yang mengatakan “pakai pengaman dong”. Ini berarti sebenarnya hamil di luar menikah ini bisa diatasi dengan menggunakan pengaman, misalnya kondom.

3. Virginity
Tidak kusangka jika di abad ini masih ada sekelompok (atau mungkin masih banyak?) orang yang beranggapan bahwa virginity masih sangat penting bagi seorang perempuan yang harus mereka persembahkan kepada suami di malam pertama. Walhasil, mereka pun berusaha mati-matian untuk tidak melakukan sexual intercourse sebelum menikah.

4. Sexual disease
I am of opinion bahwa ini adalah alasan yang paling masuk akal sehingga sebaiknya sex outside the wedlock maupun extra-marital sex dihindari. Seperti untuk menghindari kehamilan, kondom masih bisa digunakan untuk ‘pengaman’ namun kenyataan bahwa keberhasilan pemakaian pengaman tidak selalu 100%, maka ... you can conclude it by yourself.

Dari keempat alasan ini, maka kesimpulan ada di nomor berikutnya:

5. High self-control
“I have high self-control not to be close to sex, Miss,” kata seorang siswa. Pertanyaan berikutnya adalah, “why self control?” maka paling tidak keempat alasan di ataslah jawabannya.

LUST

“Where does lust come from?”

Blue film adalah kambing hitam pertama yang disebut oleh siswaku. J Bahkan adegan ciuman di film “Beauty and the Beast” pun juga dijadikan salah satu pemicu ide untuk mencium sang pacar. Kita semua tentu mahfum jika ‘lust’ bisa berasal dari ciuman.

Yang mencengangkan masturbasi adalah jawaban kedua dari mana ‘lust’ comes from. I forgot to ask darimana mereka tahu istilah ‘masturbasi’ yang kemudian menjadi topik perbincangan dengan teman karena mereka curious what it is. Kalau tidak berbincang dengan teman, mereka mungkin akan googling to know what it is all about. (thank internet or curse it?) Setelah tahu, bisa jadi kemudian mereka curious atau tertarik untuk mempraktekkannya. Rasa nikmat dan puas yang mereka dapatkan akhirnya membuat mereka mengenal rasa ‘lusty’ karena ingin mendapatkan rasa nikmat dan puas itu lagi dan lagi.

AMONG ADULT PEOPLE

Note: ‘adult people’ di sini adalah orang-orang yang sudah (pernah) menikah atau orang yang sudah punya pengalaman having sex.

‘Love ‘ akan selalu bisa dipastikan akan end up dengan seks. Antara pasangan suami istri maupun sepasang kekasih, seks adalah satu cara untuk mengungkapkan rasa cinta mereka kepada pasangannya. Bagi pasangan ‘konvensional’ bisa jadi seks adalah cara untuk mendapatkan keturunan. Namun banyak juga di masa sekarang orang menganggap seks sebagai suatu entertainment for themselves.

“How do women’s views on sex differ from that of men’s?”

Many people take it for granted bahwa bagi perempuan seks adalah satu cara untuk mendapatkan ‘intimacy’ with their loved ones, maka kenikmatan seks – the big O – tidak begitu penting. Sedangkan untuk laki-laki berlaku sebaliknya. Namun ternyata di zaman yang lebih terbuka sekarang, banyak juga perempuan yang mengatakan bahwa the big O juga penting in their sex life. Dipercaya bahwa semakin sering perempuan mendapatkan orgasme dalam kehidupan mereka, akan semakin bahagia mereka, dan kebahagiaan itu akan mereka tebarkan untuk orang-orang yang berada di sekitar mereka.

Dan ada juga laki-laki yang lebih memilih intimacy ketimbang orgasme.

“Can lust come without love?”

Sangat bisa dan sangat manusiawi. Oleh karena itu sangat bisa dimaklumi jika mereka yang tidak memiliki steady partner – spouse or boyfriend or girlfriend – akan terlibat dengan one night stand ‘affair’. However, for this stuff, don’t relate it to the things I discussed with my students in Religious Studies class. Perhaps I will write further about this – or some other kinds of stuff – later on.

I am just out of the blue exhausted.
(excuse!)

PT28 18.11 230211

Selasa, Februari 15, 2011

Kronika Kronis Anakronisme Anarkis

Kronika Kronis Anakronisme Anarkis

Sekedar ingin berbagi tulisan seorang online buddy di lapak sebelah. Betapa telah terjadi kesalahkaprahan tentang pemahaman kata ANARKIS. :) Untuk postingan yang asli, klik saja tautan di atas.

Pak Beye,

Membicarakan Anarkisme tak sesederhana mengolah dan menikmati mi instan, namun begitu janganlah enggan mempelajarinya apabila Anda merasa turut berkepentingan membawa kronika Anarkisme ke tengah masyarakat. Setidak(-tidak)nya, bukalah Wikipedia dan rajin-rajinlah merunut labirinnya hingga kenal para bijak penggagas Anarkisme dan jalan anarki di dalamnya. Ini demi Anda agar tak ditertawai dunia tatkala tanpa angin dan badai menghendaki pembubaran organisasi massa yang bersikap anarkis (Kupang, Nusa Tenggara Timur, Rabu 9 Pebruari 2011). Sebab sekali lagi pak, Anarkisme bukanlah ideologi semacam mi instan rasa kepalsuan.

Demikian surat terbuka saya kepada Anda, semoga cukup mampu mengajak Anda kembali mempelajari ilmu-ilmu sosial dan filsafat. Namun saya menyilakan Anda apabila ingin terus membaca tulisan ini. Oh ya pak, saya menulis ini dengan semangat Anarkisme dan diiringi lagu valentine berirama punk. Semoga suka.

Anarkisme

Pengertian paling sederhana dari Anarkisme adalah sebuah paham anti pemerintahan, namun awam cenderung berhenti di sini, dan atau melanjutkan pemahaman mereka pada salah satu pilihan gerakan anarki yang menyatakan perjuangan dengan jalan kekerasan, perusakan, dan pembunuhan. Sebagaimana yang disampaikan Buenaventura Durruti Dumange (1896 - 1936), seorang tokoh utama dalam gerakan Anarkisme di Spanyol;

"Terkadang cinta hanya dapat berbicara melalui selongsong senapan".

Namun begitu, sesungguhnya Durruti hanya mengarahkan jalan kekerasan tersebut kepada negara dan Kapitalisme. Di beberapa bagian saya dapat menyepakati pemikiran Durruti dan memahami pilihan kekerasannya. Bukankah di sisi lain isu anti kekerasan juga dimanfaatkan penguasa untuk membatasi gerak para aktivis agar tak merusak hak milik mereka? Dipakai untuk memukul balik atas nama menjaga stabilitas? Dan memberi jarak aman antara penguasa dan yang dikuasai? Bagi saya kekerasan - ataupun penghujatan - yang ditujukan kepada kelompok yang lebih berkuasa adalah sikap perlawanan atau setidaknya upaya pembelaan, sedang kekerasan dan pelecehan penguasa kepada kaum lemah adalah bentuk sikap fasis. Kekerasan menemu nilai jihadnya ketika diarahkan untuk melawan penjajah Belanda oleh pejuang kemerdekaan, namun menemu nilai jahatnya ketika diarahkan untuk membunuh para Ahmadi oleh kaum Islam garis kekerasan. Kekerasan pejuang kemerdekaan adalah kekerasan yang diijinkan Anarkisme, sedang kuasa kekerasan kaum fundamentalis Islam kepada pihak yang lemah dalam kasus Ahmadiyah ditolak karena amat fasistik. Musuh utama Anarkisme adalah Fasisme, karenanya amatlah lucu - untuk tak menyebut "Dungu", membubarkan organisasi anarki karena perbuatan yang dilakukan oleh kaum fasis.

Anarkisme Durruti sejatinya bukan berarti melulu kesalahan, namun kekerasan kekerasan tetaplah bukan isu eksklusif bagi sebagian besar penganut Anarkisme dan berbagai variannya. Coba simak apa yang ditulis Alexander Berkman (1870 - 1936), seorang pemikir Anarkisme ternama asal Rusia;

"Anarkisme berarti bahwa Anda harus bebas. Bahwa tidak ada seorangpun boleh memperbudak Anda, menjadi majikan Anda, merampok Anda, ataupun memaksa Anda. Itu berarti bahwa Anda harus bebas untuk melakukan apa yang Anda mau, memiliki kesempatan untuk memilih jenis kehidupan yang Anda mau serta hidup di dalamnya tanpa ada yang mengganggu, memiliki persamaan hak, serta hidup dalam perdamaian dan harmoni seperti saudara. Berarti tidak boleh ada perang, kekerasan, monopoli, kemiskinan, penindasan, serta menikmati kesempatan hidup bersama-sama dalam kesetaraan"

Anakronisme

Tapi isu kebebasan, kebersamaan, dan kesetaraan dalam Anarkisme seperti ini tak mampu mengalahkan pamor kekerasan Anarkisme Durruti. Kata kunci 'Kekerasan' Durruti akhirnya menjadi bumerang dengan tenaga tambahan dari kaum kapitalis untuk menyerang Anarkisme. Sehingga wajah anarki dibuat luka menjelma seolah monster berbahaya bagi peradaban.

Wajah asli Anarkisme yang damai tiba-tiba sirna oleh anakronisme. Anakronisme adalah pemelintiran makna dan Anarkisme telah dipelintir 180 derajad. Ajaran Anarkisme Damai Pierre-Joseph Proudhon (1809 - 1865), seperti tak pernah ada, anjuran Mikhail Bakunin (1814 - 1876) atas penolakan eksploitasi seolah tak terdengar, gagasan akan kebebasan kemanusiaan dari Prince Peter Kropotkin (1842 - 1921) seakan sirna, pemikiran kesetaraan gender dari Emma Goldman (1869 - 1940) terabaikan, juga gerakan perlawanan melalui media oleh Errico Malatesta (1853 - 1932) terkalahkan oleh kisah kekerasan lapangannya, dan seterusnya. Anarkisme bukam sekadar hantu yang bergentayangan di langit Eropa, tapi mahluk luka yang merangsek ke segala penjuru dunia. Anarkisme adalah Zombie yang tak henti disambit dengan anakronisasi para musuh ideologisnya.

Di Indonesia Anarkisme disambut dengan baik karena memiliki banyak kesamaan dengan filosofi dan tradisi Nusantara.  Sebutlah misalnya moto 'Do It Yourself (DIY)' kaum anarki untuk menolak bantuan penguasa sejalan dengan semangat 'Swadesi' juga 'Berdiri Di Atas Kaki Sendiri (Berdikari)', bentuk perlawanan 'Disobey' atau pembangkangan dapat disetarakan dengan aksi menolak bayar pajak oleh Kaum Samin pimpinan Suro Sentiko, semangat 'Kolektivo' tentu dapat disejajarkan dengan tradisi 'Gotong-royong', paham anarki dalam menjauhi teknologi perusak kemanusiaan yang penolakannya sudah lama dipraktikkan oleh Suku Badui, jalan damai anarki pun menemui padanan dengan 'Ahimsa', dan seterusnya. Maka tak pelak seorang Sukarno amat menyukai dan banyak terinspirasi semangat ini. Bersama tulisannya di Harian Pikiran Rakyat pada tahun 1923, Sukarno menyambut Anarkisme.

Namun bersama kekuasaannya, Orde Baru (Orba) menyambit Anarkisme. Sangat bisa dimaklumi karena Anarkisme adalah sistem sosial di wilayah kiri yang tegas berhadapan dengan tiga unsur utama pembangun Orba; Kapitalisme, Fasisme, dan Feodalisme. Tapi memang bagaimanapun ideologi tak pernah mati, terlebih ideologi yang tercipta dari semangat muda. Bara pembakar semangatnya bisa dari apa saja; musik, fesyen, bahasa, olah raga, seni rupa, dan seterusnya. Iming-iming bidadari surga tak ada dalam kamus bara bakar semangat mereka. Komunitas anarki ada di mana-mana di Nusantara. Saya membayangkan sebuah Anarchonesia.

Sampai waktunya tiba, revolusi ada di depan pintu istana dan mengetuknya dengan cinta.

Senin, Februari 14, 2011

True Love for Women

So, how do you 'celebrate' your Valentine's Day this year?

There was an intriguing 'status' on FB from an online buddy yesterday: "Hey ladies, who is your true love? your hubby? kids? or ... those pretty shoes and bags?"

So, come on ladies! Instead of buying chocolates for your loved ones, buy your dream shoes and bags for yourself, since you deserve to be loved, by yourself!"

Hmmm ... I am wondering if there are women who don't like beautiful clothes, pretty shoes as well as attractive bags. I once did! Frankly speaking when the first time I got a job and felt like I could spoil myself with those 'women stuff', since I was (or I coveted to be included into) a 'fashionable woman'. LOL.

Until I realized that I did not need to always follow my greed, just to be "a real woman". LOL. Perhaps it was also triggered by the 'fact' (so I thought) that I had found my 'real identity'. If I am not mistaken it started in 2000. This (so-called) awareness was strengthened when I got to know feminism ideology in 2003.

So? No more buying clothes or shoes or bags if only to 'pile' them to adore their beauty. LOL. I have found my 'real passion' => books, feminism, and writing. I absolutely will buy new clothes or shoes or bags if I think I need new ones since the old ones are already worn out. LOL.

Meanwhile ...

In one mailing list I have joined for years I just found an ad about a new book published. The book compiles some writings about women and children. The main point of the book is to support women to love themselves just the way they are; no need to follow society's consensus about women -- such as women must wear beautiful dresses that will fit with their bags and shoes; women must have a so-called sexy body (which mostly means having tall and slim body with fair, spotless skin, long and straight hair) when they want to wear fashionable clothes. In addition, women must also have courage to say NO to their boyfriends/husbands when their partners want to have sex while women do not want to.

Well, if I can add, women also have rights to ask their boyfriends/husbands to have sex when they need it; women do not need to feel guilty when they want to spend their money on 'women stuff' and not labeled as 'victim' of capitalism as long as they are aware when doing that (too 'risky' eh, to use the word 'aware' here?) and not just follow the trend. Women also have right to spend their money to go to spas, beauty salon to make themselves feel beautiful for their own satisfaction, and not just to get appreciation from people around -- especially men -- since women do not need recognition from others only to feel beautiful. Women have right to wear any kind of clothes -- open/sexy or even covering all over -- and feel good for themselves.

etc.

And they are still 'true women', with any choice they make!

You can visit my other post about 'true women' here
Perempuan Sejati (in Bahasa Indonesia) or
True Women? (in English)

True love for women? Love yourself, folks!

PT56 14.06 150211

Sabtu, Februari 12, 2011

Foot-binding versus Corset Wearing

MISOGYNY


Kebencian kepada perempuan (‘misogyny’ adalah terma yang biasa digunakan dalam Bahasa Inggris) telah berusia sangat tua, hingga tidak akan begitu mudah untuk merunutnya kapan hal ini mulai terjadi. ‘Misogyny’ ini membentuk praktik dalam berbagai hal, seperti anggapan bahwa tubuh perempuan penuh sihir hanya karena setiap bulan – secara misterius – mengeluarkan darah; hal ini terjadi sebelum dunia kedokteran menghasilkan ‘ilmu pengetahuan’ bagaimana organ-organ di dalam tubuh perempuan bekerja, bagaimana “tiba-tiba” perut perempuan membesar, dan dalam hitungan bulan keluar makhluk yang mirip manusia dari lubang yang terletak di antara kedua belah pahanya; tidak heran jika terjadi hal-hal yang belum bisa dinalar oleh otak manusia beberapa abad yang lalu, orang-orang yang berkuasa – dalam hal ini laki-laki – akan dengan mudah menimpakan kesalahan pada perempuan yang dianggap telah menggunakan kekuatan sihirnya. Eksekusi terhadap kaum perempuan karena dianggap ahli sihir ini banyak terjadi di Eropa maupun Amerika di abad-abad ketujuhbelas.  Nathaniel Hawthorne mengisahkannya dengan secara tragis namun sangat apik dalam novelnya yang berjudul “the Scarlet Letter”.

contoh gambar pelaksaan 'suttee'

Contoh lain adalah praktik ‘suttee’ di India, dimana seorang perempuan dianggap tak lagi layak hidup jika suaminya – sang tuannya – telah meninggal dunia, maka dia pun harus ikut menceburkan diri ke dalam api yang membakar jasad suaminya. Pelabelan ‘mad woman’ hanya karena seorang perempuan tidak mengikuti konvensi masyarakat tentang perempuan baik-baik. Mutilasi alat genital perempuan yang banyak terjadi di benua Afrika dan beberapa negara Arab, hingga ‘foot-binding’ yang banyak dipraktekkan di China, sampai pemakaian korset di Eropa yang menyebabkan tubuh perempuan bagian dalam ‘tumbuh’ tidak semestinya.

Tulisan ini khusus membahas dua praktik yang disebut di atas, Chinese foot-binding dan European corset wearing.

contoh 'hasil' praktik foot-binding'

CHINESE FOOT-BINDING

‘Tradisi’ mengikat kaki perempuan di China ini terjadi dalam kurun waktu kurang lebih satu milenia, dari abad kesepuluh hingga abad keduapuluh. ‘Praktik ini mulai ditinggalkan sekitar tahun 1940. Praktik berawal dari harapan untuk menyamai kaki-kaki para selir raja yang memang sengaja dibentuk untuk menjadi sangat kecil. (Konon agar tidak bisa melarikan diri?) Para selir tentulah dianggap memiliki kecantikan yang di atas rata-rata, maka hal ini pun ‘mengilhami’ para orang kaya untuk melakukan hal yang sama.

Tatkala praktik ini dilakukan oleh para orang kaya, hal ini ‘digunakan’ untuk memamerkan pada khalayak bahwa sang suami adalah seseorang yang kaya raya hingga sang istri tidak perlu bekerja, pun juga melakukan pekerjaan rumah tangga karena dia hanya cukup memberi perintah kepada sang pelayan. Akan tetapi beberapa abad kemudian, praktik yang semula hanya dilakukan pada kaum elite, akhirnya menjalar juga ke kelas yang ada di bawahnya. Barangkali anggapan bahwa seorang laki-laki termasuk kelas ekonomi mapan telah melahirkan kelompok ‘baru’: laki-laki dari kelas ekonomi bawah pun menginginkan istri yang memiliki kaki yang sangat mungil. Dampaknya pun bisa diperkirakan, stereotyping ‘perempuan cantik dan seksi adalah perempuan yang kakinya berbentuk sangat mungil’ dan bakal dijadikan istri laki-laki kelas mapan pun telah membuat para perempuan tidak keberatan jika kakinya dibentuk sedemikian rupa hingga mereka kesulitan berjalan.

contoh hasil pemakaian korset dalam waktu lama

EUROPEAN CORSET WEARING

Kapan mulainya ‘tradisi’ pemakaian korset ini tidak merunut ke satu masa yang jelas. Meskipun begitu, satu sumber mengatakan bahwa korset pertama kali dikenakan oleh Catherine de Medici, istri raja Henry II di Perancis di tengah abad keenambelas. Pada awalnya korset (yang disebut ‘stays’ sebelum abad kesembilanbelas) dikenakan untuk menopang tubuh agar berbentuk silinder, meratakan perut dan mengangkat payudara. Akan tetapi memasuki era Victorian (awal abad kesembilanbelas) dimana domestikasi perempuan dilakukan dengan sangat rigid, dan mulai ‘disebarkan kepercayaan’ bahwa perempuan adalah ‘the weaker sex’ , pemakaian korset ini dipercaya untuk menopang tubuh perempuan karena perempuan adalah makhluk yang lemah hingga tak mampu menopang tubuh sendiri tanpa alat bantu.

Sama dengan fenomena ‘foot-binding’, pemakaian korset ini pun awalnya hanya ‘berlaku’ pada kaum kelas ekonomi tinggi, dimana seorang perempuan tidak perlu bekerja, di rumah pun dia hanya memberikan perintah kepada para pelayan. Ketika kaum perempuan dari kelas ekonomi bawah ‘ikut-ikutan’ mengenakan korset, mereka akan memilih korset yang tidak terlalu mengganggu gerak tubuh – dan juga pengambilan nafas – dan mengenakan pakaian yang tidak terlalu ribet.

Yang sangat mencengangkan adalah sebuah sumber mengatakan bahwa pemakaian korset memiliki nilai ‘moral’ yang cukup tinggi. Jika tali-tali yang terletak di bagian belakang korset diikat dengan sangat kencang, hal ini menunjukkan bahwa sang pemakai adalah seorang perempuan yang saleh, jika tali-talinya tidak begitu kencang, hal ini menunjukkan sang pemakai adalah seseorang yang tidak mampu menjaga moralnya dengan baik. Perempuan perlu mengenakan korset untuk melindungi diri dari laki-laki mata keranjang – bahkan juga dari godaan moralnya sendiri – karena pemakaian korset yang ketat tidak akan memudahkannya untuk melepas baju dan tergoda melakukan hal-hal yang ‘immorally wrong’.

Tidak jauh beda dengan satu peraturan di satu kota di Indonesia yang mengharuskan perempuan yang bekerja sebagai tukang pijat untuk mengenakan celana dalam yang bergembok. Perempuan selalu dituduh sebagai pihak yang akan menyebabkan hal-hal tidak senonoh sehingga perempuan harus dipenjarakan; entah di balik baju panjang dan jilbab, entah celana dalam bergembok, hingga hanya boleh beraktifitas di rumah saja, jika akan keluar rumah harus dengan muhrim, dll.

KESIMPULAN

Kebencian pada perempuan yang akut, namun terjadi dengan sangat ‘halus’ sehingga kaum perempuan sendiri tidak menyadarinya telah terjadi selama berabad-abad. Dua praktik yang disebutkan di atas memiliki persamaan: semula berlaku hanya pada kalangan ekonomi atas namun kemudian menjalar ke kalangan ekonomi bawah. Dalam praktek ‘foot-binding’ diciptakanlah ‘label’ bahwa perempuan akan dianggap ‘cantik’, dan ‘memiliki sex appeal yang tinggi’ (selain juga agar memiliki daya jual tinggi untuk diperistri) akan membuat kaum perempuan menginginkan memiliki kaki yang sangat kecil. Sedangkan dalam praktek ‘corset wearing’, perempuan ‘disihir’ untuk percaya bahwa tubuhnya akan terbentuk bagus, selain juga tubuh lemahnya butuh sokongan, hingga perlindungan diri dari godaan laki-laki mata keranjang, Perempuan menjadi korban sekaligus sebagai pelaku.

Nana Podungge
PT56 07.24 130211

Rabu, Februari 09, 2011

Nonton Televisi

Aku ga ingat kapan terakhir dengan sengaja aku duduk di hadapan kotak (yang tak lagi) ajaib ini untuk menikmati sebuah tontonan. Kalau tidak salah mungkin satu hari pada bulan Agustus tahun 2007, acara final pemilihan Puteri Indonesia. Bukan karena apa-apa, melainkan karena salah
satu finalisnya adalah my ex student. (You can click the link here Beauty Pageant)

Banyak alasan yang membuatku lebih memilih menghindari menonton televisi.

Pertama, pembodohan publik terhadap iklan-iklan yang ada. Apalagi iklan yang membodohi masyarakat dalam hal ‘peran’ perempuan (misal: istri yang bijak menggunakan produk bla bla bla), atau bagaimana tubuh perempuan dilecehkan (misal: beberapa tahun lalu ada iklan kopi susu, dimana ketika seseorang mengatakan “pas susunya”, yang muncul di layar adalah dada membusung seorang perempuan); juga iklan yang dimaksudkan untuk membentuk opini publik bahwa perempuan yang cantik itu yang begini begini begitu begitu. Hal ini akan sangat mempengaruhi perempuan yang kurang menerima keadaan fisik diri sendiri (not to mention myself as one victim LOL); mereka akan menyiksa diri agar tampil seperti bintang-bintang iklan yang dipakai oleh produk-produk tertentu tersebut.

Kedua, acara-acara keagamaan yang bagiku justru malah memecah prinsip “bhinneka tunggal ika”. Dan ‘membaca’ bagaimana para penceramah berkhutbah segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan kaum perempuan (misal mendukung poligami, atau memenjarakan tubuh perempuan di balik hijab) itu sangat bikin eneg. Belum lagi jika membahas segala sesuatu selalu dihubungkan dengan ayat-ayat kitab suci, yang bagiku justru berkesan betapa manusia seolah-olah tidak memiliki hati nurani untuk bisa memutuskan sendiri yang mana yang layak dilakukan dan yang mana yang sebaiknya atau seharusnya ditinggalkan, tanpa harus selalu ‘consult’ ke ayat-ayat kitab yang bagi para non-believer hanyalah buatan manusia saja (dalam hal ini hasil karangan mereka yang mengaku diri menjadi ‘nabi’.)

Ketiga, infotainment yang sering bikin muntah. Apa ya fungsinya ngobrak-ngabrik kehidupan para selebriti? Toh mereka juga manusia biasa? Apakah karena prinsip ekonomi “Ada permintaan maka ada barang”? Karena para penonton ingin tahu kisah para selebriti pujaan mereka maka infotainment itu dibuat? Banyak penonton bisa dipastikan banyak iklan yang masuk, sehingga ini berarti pemasukan? Padahal sekarang infotainment ini pun banyak dibuat tanpa cek dan recek pihak selebriti yang bersangkutan. Dan tatkala seorang selebriti ‘angkuh’ untuk diwawancarai (misal saja tatkala seorang Desi Ratnasari dulu sering menggunakan frasa “no comment” sebagai senjata), masyarakat infotainment akan berdalih, “sekali seseorang menjadi selebriti, dia tak lagi memiliki privasi pribadi, hidupnya menjadi milik masyarakat”, menurutku sangat keterlaluan. Orang tak lagi menghargai hak pribadi seseorang?

Keempat, sinetron yang sering dibuat-buat, serial yang begitu panjang sehingga membosankan. Mana akting para pesinetron pun hanya ala kadarnya. Bahkan para aktor yang pernah mendapatkan pujian di kala dulu pun sekarang ketika berakting di sinetron tak lagi menunjukkan kepiawaiannya berakting. Main di sinetron mana pun, penampilannya sama, gaya yang sama sehingga penonton tidak bisa membedakan kala dia berakting sebagai A maupun D di sinetron yang berbeda.

Kelima, acara berita yang analisisnya pun sengawur acara infotainment. “Look who is talking?” dan “Look who is producing the program” sangat pas dipertanyakan di tiap acara berita. Pembodohan masyarakat lagi.

Keenam, alasan yang sangat pribadi bagiku adalah, jika aku ingin menonton satu acara televisi, aku harus mau diatur oleh protokoler televisi. Misal, waktu luang yang kupunyai pada hari Minggu adalah jam 10 pagi menjelang siang. Namun ternyata acara yang ingin kutonton pada waktu itu tidak main di televisi. Tak jadi menontonlah aku ini.

By the way, speaking about commercial break (lihat alasan yang pertama di atas), kupikir dengan semakin meluasnya fenomena pria metroseksual, seharusnya sudah semakin banyak juga ya iklan-iklan produk yang menjadikan laki-laki sebagai objek? Aku ingat beberapa tahun lalu ada sebuah iklan – kalau tidak salah multivitamin penunjang vitalitas – dimana di situ terlihat seorang laki-laki ‘terpaksa’ mengkonsumsi multivitamin tersebut karena perempuan pasangannya ingin dipuaskan sekitar dua sampai tiga kali (entah dalam waktu satu hari, atau satu kali ‘main’? LOL.) Atau iklan parfum untuk laki-laki, dimana seorang laki-laki pengguna parfum itu menjadi babak belur karena aromanya sangat menarik dan menggoda perempuan untuk mengejarnya. Dengan disediakannya produk-produk tertentu untuk dikonsumsi kaum laki-laki, maka kaum berpenis ini pun telah dijadikan target market, yang berarti mereka juga telah dijadikan objek. Kaum laki-laki pun akan juga memiliki sifat konsumtif.

“Penyeimbangan negatif” kata Ayu Utami, dalam sebuah tulisannya yang mengemukakan perlunya laki-laki pun dijadikan objek seks. Dan televisi sebagai sebuah media yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat, baik kelas bawah, menengah, maupun atas, bisa menjadi wahana yang sangat baik untuk pembelajaran penyeimbangan negatif ini.

PT56 22.20 090211

Selasa, Februari 08, 2011

Gender Voices 2

Post ini lanjutan dari post sebelum ini di Gender Voices.

Beberapa minggu lalu, dalam kesempatan yang sama -- English Conversation CLub -- aku memberi activity berupa mendengarkan lagu DON'T CRY JONI (atau kadang ditulis JOANNY), sebuah lagu lawas dimana liriknya merupa sebuah kisah tentang sepasang laki-laki perempuan yang tinggal di neigborhood yang sama. Berikut inilah lirik selengkapnya.


DON'T CRY JONI
by Conway Twitty

Woman- Jimmy please say you'll wait for me
I'll grow up someday you'll see
Saving all my kisses just for you
Signed with love forever true.

Man - Joni was the girl who lived next door
I've known her I guess ten years or more.
Joni wrote me a note one day.
And this is what she had to say.

Woman-Jimmy please say you'll wait for me
I'll grow up someday you'll see
Saving all my kisses just for you
Signed with love forever true.

Man- Slowly I read her note once more
Then I went over to the house next door
Her tear-drops fell like rain that day
When I told Joni what I had to say.

Man- Joni, Joni please don't cry
You'll forget me by and by
You're just fifteen and I'm twenty two,
and Joni I just can’t wait for you.

Man - Soon I left our little home town,
Got me a job and tried to settle down
But these words kept haunting my memory,
the words that Joni said to me.

Woman- Jimmy please say you'll wait for me
I'll grow up some day you'll see
Saving all my kisses just for you
Signed with love forever true.

Man - I packed my clothes and I caught a plane
and I had to see Joni. I had to explain,
how my heart was filled with her memory
and ask my Joni if she'd marry me

I ran all the way to the house next door
but things weren't like they were before
My tear-drops fell like rain that day
When I heard what Joni had to say.

Woman- Jimmy, Jimmy please don't cry
You'll forget me by and by.
It's been five years since you've been gone
Jimmy, I - (married) - your best friend John.

Sebagai activity, biasanya aku memperdengarkan lagu ini sampai di bait ketujuh, kemudian CD kumatikan. Activity berikutnya, aku minta para siswa untuk melanjutkan kisahnya, bisa dalam bentuk dialog, bisa juga hanya dalam bentuk prosa.

Berangkat dari kisah dalam lagu inilah, rekanku yang menceritakan kisah rada horror di post sebelum ini mengambil nama Joanny dan John sebagai suami istri.

Dari empat kelompok -- dua kelompok masing-masing terdiri dari 3 male students, dua kelompok lain masing-masing terdiri dari 4 female students -- menghasilkan kisah yang jelas berbeda. 'Uniknya' adalah kelompok laki-laki selalu memiliki imajinasi yang tak terduga dan somewhat complicated. Sedangkan kelompok perempuan mengisahkan imajinasi mereka yang tidak terlalu bertele-tele, sangat ordinary. Saking ordinary-nya aku sampai lupa.

Frankly speaking, aku tidak membuat catatan apa pun waktu mendengarkan my students telling their imaginary stories, so mohon dimaklumi kalau aku sudah lupa. (helloooo??? what have I consumed today? I became so forgetful! ) Yang aku ingat tentu yang paling remarkable, salah satu dari kelompok laki-laki.

Mereka mengatakan bahwa sebenarnya yang membunuh John adalah Joanny, sang istri sendiri. Hal ini dilatarbelakangi bahwa sebenarnya John adalah seorang homoseksual, sedangkan pasangan 'abadinya' adalah Jimmy. Mengetahui bahwa John dan Jimmy adalah sepasang kekasih, dan mereka diam-diam masih melanjutkan kisah kasih mereka, Joanny merasa terluka, terhina, dan tidak terima sehingga ingin melakukan pembalasan. (thriller movie banget yak? )

Tatkala mendengar shocking news dari radio, Joanny tahu bahwa sang maniac yang berhasil melarikan diri dari mental hospital itu adalah Jimmy. Mengetahui bahwa Jimmy 'lepas', seketika itu juga Joanny merencanakan pembunuhan kepada suaminya, dan menciptakan alibi bahwa yang membunuh John adalah Jimmy, sang maniac. Sakit hatinya terbalaskan, dan dia terbebas dari segala tuduhan.

The End.

Sebagai seseorang yang tidak begitu menyukai nonton film thriller -- mungkin juga ini yang 'menimpa' my female students yang hadir -- maka melanjutkan kisah horror ini menjadi semakin horror mungkin tak akan mampir ke imajinasiku.   Kisah akan berbeda (barangkali) jika dilanjutkan oleh para siswaku yang hobbynya nonton film thriller maupun horror.

PT56 14.25 060211

From "Globalization Era" to "comics"

Bermula dari obrolan tentang Globalization Era di kelas ‘citizenship’ di kelas 9 tadi pagi, aku dan anak-anak jadi berbincang tentang jenis-jenis komik yang bagiku sangat mencengangkan. NAH LO? Kok bisa?

Ceritanya begini. Ada dua pertanyaan dalam buku yang mengawali diskusi kita.

  1. An opinion says that modern people are people who follow the western lifestyle. Do you agree with this statement? Explain your answer.
  2. What would happen if a region or a country does not open up or work with other regions or countries?

Kita mulai mendaftar barang-barang yang bisa dikategorikan ‘modern’ yang tidak bisa kita (baca => my students) tinggalkan to survive: AC, komputer (berarti listrik), dan mobil karena lokasi rumah mereka lumayan jauh dari sekolah, ditambah lagi kenyataan bahwa Semarang terdiri dari high land dan low land. Sekolah berlokasi di tengah-tengah ‘bukit’, yang berarti tidak di low land namun tidak di ‘highest’ land.

Di tengah diskusi, tiba-tiba ada seorang siswa yang mengatakan, “it is okay for me not to have computer at home, Miss, as long as there is T***M** bookstore next to my home, so that I can read a lot of comics during my spare time.” (NOTE => dia bilang dia biasa menggunakan komputer untuk main game selain untuk mengerjakan tugas sekolah. Jika dia ngenet, pun yang dia lakukan juga kebanyakan download comics.)

Speaking about ‘comics’, aku jadi ingat komen yang kutulis di postingan seorang online buddy di lapak sebelah tentang komik dimana kemudian dia menyebut ‘hentai’. (I was in the dark about what it was when reading his reply. Angie yang kemudian memberitahuku what it was.) Maka, dengan hati-hati, aku bertanya kepada para siswaku, “Speaking about comics, have you ever heard ‘hentai’?”
You can guess, ternyata my students know about this stuff better than their teacher. LOL. (Maklum, semenjak menginjak bangku SMP, aku bukan lagi penikmat komik.) Malah dari mereka kemudian aku mendengar jenis-jenis (alias kategori-kategori) komik lain, seperti ‘ecchi’, ‘harem’, ‘mature’, ‘adult’. Dan aku pun bengong tatkala my students told me bahwa jenis-jenis komik yang berkategori ‘adult’ pun dijual bebas di toko buku, meski kata mereka kadang toko buku hanya ‘asal saja’ waktu membubuhkan tulisan “D” yang bermakna ‘dewasa’. Misal, satu kali seorang siswaku mengaku membeli sebuah komik yang ternyata ada kategori “D” di sampul, yang tidak dia lihat waktu membeli karena tulisan “D” tertutup label harga. Dia baru ‘ngeh’ setelah sampai rumah. Nevertheless, she didn’t find any ‘adult scenes’ di dalamnya, kecuali bahwa ada satu gambar salah satu karakternya terpotong tangannya. Ini berarti ada gambar yang menunjukkan ‘violence’.

Selain beberapa kategori yang kusebutkan di atas, ada juga jenis-jenis komik (buatan Jepang) yang berkisah tentang homoseksual – baik gay maupun lesbian. Yang menarik, masih kata siswaku juga nih, dan sampai sekarang aku belum ngecek di google, komik-komik yang berkisah tentang gay justru lebih banyak dikonsumsi oleh para remaja perempuan, sedangkan yang lesbian lebih menarik para remaja laki-laki.

This is really interesting for me, yang sama sekali ‘buta komik’. LOL.

“So, speaking about the impact of globalization era, do you think this comic thing gives us advantages or disadvantages?” tanyaku.

Dan, ini adalah pe-er yang harus dijawab oleh my students dalam bentuk uraian, lengkap dengan alasannya. :)

GL7 15.21 080211

P.S.: berikut adalah link ke tulisan seorang online buddy of mine di lapak sebelah, yang berkisah tentang komik.
 Membaca Komik

Sabtu, Februari 05, 2011

Gender Voices

Ini bukan tulisan yang membahas buku karya David Graddol & Joan Swann meski judulnya jelas kucopy dari buku mereka.

Tadi siang, dalam kesempatan 'English Conversation Club', seorang rekan kerja memberi activity 'jigsaw listening'. Dia ambil kisah yang bisa dikategorikan 'urban mystery' yang telah mengalami tell dan retell berpuluh-puluh kali hingga tidak jelas apakah itu benar adanya, atau hanya isapan jempol belaka. In short ceritanya begini:

A young married couple -- named John and Joanny -- went from Texas to Kansas by car. On the way, Joanny got bored since it was quite a long journey, and along the way, they didn't see anything but empty land. To overcome the boredom, Joanny listened to music from the car radio. After listening to some music, suddenly Joanny was schocked by news from the radio announcer. The announcer informed that there was a maniac who escaped from a mental hospital. Besides a maniac, he was also a cold-blooded killer who had killed 6 people sadistically. To end the shocking news, the announcer said that everybody had better beware, stay inside the house, locked the door and windows properly, and not roam around the streets.

Joanny suddenly got panic. Kansas was still long way to go. Moreover, suddenly the weather changed. It rained very heavily. The sky got darker. Until suddenly, the car broke down. John tried calming his wife, but Joanny still felt very restless. Then John offered Joanny to run, to look for a house to ask for help. But Joanny could not run because she was wearing a beautiful dress and high-heeled shoes (mekso banget yak? LOL) So John asked her to stay in the car, while John himself was looking for some help. Joanny had to stay in the car with all doors locked. She had to cover up herself with blanket so that no one could know that there was someone inside the car. She was not to open the doors of the car but only when John was back. He would knock on the window three times.

In the middle of the night, Joanny heard knock on the roof of the car: one ... two ... three ... the knock didn't stop. Someone outside the car didn't stop knocking; therefore, Joanny didn't open the door.

After morning came, Joanny suddenly heard the sound of a police car's siren wailing; it stopped not far from her car. Then, she heard a police officer said, with a loud speaker, "Joanny, you are safe now. Please go out of the car slowly. Walk to us, but don't turn your head back."

Joanny agreed. She went out of the car, walked towards the police officers waiting. However, she was really curious why she had better not look back. Out of big curiosity, Joanny looked back. And ... there ... on the car, she saw John's body was hanging under a tree. He was dead.

Pertama, jumlah siswa yang ada dibagi menjadi dua kelompok. Cerita di atas dibagi menjadi dua bagian. Kelompok pertama mendapat bagian pertama, kelompok kedua mendapat bagian kedua. Kemudian, mereka harus saling cerita bagian masing-masing agar mendapat cerita yang utuh.

Dikarenakan waktu masih panjang, maka kita memberi activity selanjutnya. We asked the students to continue the story, dengan menjawab pertanyaan:
1. who killed John?
2. why was he killed?
3. what was the relationship between John's death and the maniac?

Kita membagi siswa menjadi empat kelompok, Dengan sengaja aku membagi kelompok berbeda jenis kelamin: dua kelompok terdiri dari laki-laki, dua kelompok lain terdiri dari perempuan. Mengapa begini? Aku yakin dengan cara berpkir yang berbeda, mereka akan berimajinasi kisah yang berbeda pula.

Dan, begitulah. Kisah yang dihasilkan sangat berbeda. 'Gender voices' nampak jelas di sini.

Namun berhubung aku sudah ngantuk berat, aku belum bisa berbagi kisahnya di sini. Hmmm ... and besok bakal ada bazaar di depan rumah, yang pasti aku bakal ikutan sibuk. Setelah itu ... lupa dah!!!

PT56 22.57 050211