Minggu, Agustus 21, 2011

Toilet

Ini kisah tentang seorang online buddy. Dia seorang gay yang sudah ‘coming out’ dan aktif di LSM yang berkecimpung dalam LBGTIQ (lesbian, biseksual, gay, transgender, interseksual, queer). Bisa dimengerti jika dia lumayan ‘dikenali’ orang karena ke-coming-out-annya dan keaktifannya dalam LSM tersebut. Kita beri saja dia initial ‘A’.

Beberapa saat lalu A komplain tentang ‘perlakuan’ orang-orang yang tentu telah tahu bahwa dia seorang gay ketika dia memasuki public toilet. Orang-orang yang belum tahu bahwa dia adalah seorang gay tentu menganggapnya sebagai laki-laki hetero biasa, sehingga mereka tidak bertingkah yang berlebihan ketika A memasuki sebuah public toilet. Sedangkan bagi mereka yang tahu katanya sering memandangnya dengan sorot mata yang jijik ketika mereka melihat A masuk toilet dimana mereka sedang berada di dalamnya. Bahkan beberapa dari mereka akan langsung terbirit-birit lari keluar toilet seolah-olah A akan melakukan tindakan abusive kepada mereka. Padahal katanya – dan juga banyak orang lain – bahwa para gay ini mrmiliki ‘feeling’ yang kuat untuk mengetahui yang mana yang hetero dan yang mana yang bukan. Dan tentu saja mereka bukanlah abuser sehingga setiap kali melihat laki-laki lain yang berada di toilet akan mereka flirt atau lebih jauh lagi ‘abuse’. 

Akhir dari kisah ini, A mengharapkan di tempat-tempat umum hendaknya disediakan toilet yang lebih dari hanya terbagi menjadi dua ‘gents’ dan ‘ladies’ untuk menghindari ketidaknyamanan para gay dari sorot mata maupun tingkah laku yang menuduh mereka sebagai abuser.

Sementara itu aku punya seorang teman lain yang memiliki pengalaman lain lagi. Dia terlahir dengan memiliki fisik tubuh sebagai perempuan. Dalam perkembangannya dia lebih sering merasa sebagai laki-laki, yang bisa dikategorikan sebagai transeksual/transgender yang sering menggunakan ungkapan “terjebak pada tubuh yang salah”. Meski terlahir sebagai perempuan, secara sekilas banyak orang yang terkecoh melihat penampilannya yang lebih maskulin dibandingkan feminin. Ketika berada di sebuah daerah yang baru dia kunjungi, bukanlah hal yang aneh jika orang menyapanya ‘mas’ dan bukannya ‘mbak’. Beri saja dia initial ‘B’.

Nah, berkenaan dengan kisah A dengan toilet yang diskriminatif, B pun mengalami kejadian yang hampir mirip. Ketika berada di toilet umum, dia sering dipandang dengan sorot mata curiga dan jijik jika dia masuk ke ‘ladies’. Bahkan tak jarang, tiba-tiba dia dihampiri oleh mereka yang bertugas membersihkan toilet, “Salah masuk mas. Toilet untuk masnya sebelah sana!” sambil menunjuk ke ‘gents’. Ketika dia bilang dia perempuan, orang langsung menunjukkan sorot pandang yang tidak percaya, memandangnya dari rambut hingga kaki dengan pandangan menyelidik. Terkadang, tiba-tiba dia dihentikan oleh orang, dan diberitahu, “Salah. Toiletnya di sebelah sana.” Tanpa menggunakan ‘kata ganti’ yang jelas, sehingga dia tidak ‘ngeh’ kalau dia dianggap laki-laki oleh orang yang menyuruhnya pindah. Dia baru ‘ngeh’ ketika dia akan memasuki toilet yang satu lagi dimana dia melihat ada banyak laki-laki di dalam, sehingga dia pun buru-buru mundur.

Dan entah mengapa dengan pengalaman temanku ini, aku sering merasa harus bersyukur dikaruniai tubuh dan jiwa yang dianggap mayoritas sebagai ‘normal’. Waduuuhhh ... kalau aku sampai salah masuk ke ‘gents’ tentu ini disebabkan aku meleng tidak memperhatikan petunjuk dengan jelas.

Kesimpulan: perlu disediakan toilet khusus untuk gay dan transeksual female-to-male.

PT56 09.34 210811