Minggu, April 17, 2011

Mengenakan Jilbab 2

Mengenakan Jilbab*

(*Jilbab => baca busana yang menutup tubuh perempuan termasuk penutup kepala)

Dari postingan tentang hal yang sama di lapak sebelah, aku mendapatkan pertanyaan dari seorang online buddy mengapa akhir-akhir ini semakin banyak perempuan yang mengenakan jilbab. Apakah hal ini karena:

1. Modis? Jadi karena lagi trend ga asik kalau ga pakai jibab
2. Tuntutan (alias hukum agama?)
3. Ingin merubah image? Supaya kalau pakai jilbab terkesan lebih “bersih”?

Dari wawancara dengan orang-orang yang ada di sekitarku (rekan kerja dan rekan-rekannya yang mengenakan jilbab), aku menyimpulkan sbb:

1. Karena tuntutan orang tua – yang bisa dikaitkan dengan alasan nomor dua
2. Karena hukumnya wajib menurut agama
3. Karena ingin mengubah image
4. Karena patah hati
5. Karena merasa nyaman berjilbab

FASHIONABLE

Kebetulan tak satu pun yang menjadi respondenku (baik langsung maupun tak langsung) yang menggunakan alasan ‘trend’ atau agar nampak lebih modis sebagai alasan mengenakan jilbab. 

Jika kita mengingat kembali awal mula munculnya pemakaian jilbab di pertengahan dekade delapan puluhan, orang-orang pada waktu itu belum berpikir untuk menciptakan busana yang modis sehingga sangat lumrah jika busana ‘Muslim’ ini belum begitu menarik dipandang mata. Namun dengan semakin banyaknya perempuan yang mengenakan jilbab, berlomba-lombalah para disainer menciptakan busana yang trendy dan modis. Mereka menggunakan motto: “kata siapa berbusana Muslim tidak bisa trendy dan modis?” 

Bisa dilihat bahwa ada hubungan yang sangat erat antara kreatifitas para disainer dengan semakin meningkatnya jumlah perempuan yang berjilbab. Jika dulu mungkin mereka yang ingin mengenakan jilbab namun termasuk tipe pemakai busana yang selalu ‘bergaya’ dan ‘trendy’ plus ‘fashionable’ (tidak hanya melulu rok panjang dan kerudung lebar tanpa model) harus pikir-pikir dulu jika ingin beralih ke jilbab karena harus meninggalkan ‘cita rasa’ mereka dalam hal busana; dengan ‘bantuan’ para disainer yang kreatif menciptakan busana-busana Muslim yang trendy maka tak lagi ada alasan mengapa tidak berjilbab.

Bagaimana dengan mereka yang berjilbab namun masih terkesan setengah-setengah? Maksudku mengenakan kerudung namun masih terlihat mengenakan pakaian yang tetap menonjolkan lekak-lekuk tubuh? Kebetulan tak satu pun respondenku yang termasuk tipe ini. :-p Seperti yang kutulis di lapak sebelah, yang salah ada pada mata laki-laki yang tak mampu menahan tatapan matanya. Bukankah ada hadits yang mengatakan bahwa laki-laki harus menjaga pandangannya? :-p Jika mereka tak mampu menahan nafsu maka sebaiknya mereka berpuasa. :-D

MENGUBAH IMAGE

Tidak banyak jumlah respondenku yang memilih alasan ini untuk berjilbab dan karena keterbatasan media yang kugunakan tatkala melakukan wawancara, aku tidak bisa menggali lebih dalam lagi alasan di balik mengapa seseorang harus mengubah image mereka. Mungkin mereka merasa terkesan terlalu ‘liar’ di masa lalu dan ingin mengubur dalam-dalam masa lalunya dan berpikir bahwa dengan mengenakan jilbab mereka akan lebih terkesan berubah menjadi perempuan baik-baik.

Yang jauh lebih ekstrim, kita bisa mengacu ke tulisan Ayu Arman di SINI. Para pekerja seks komersial di beberapa wilayah Indonesia yang menerapkan syariah Islam mengenakan jilbab untuk mengaburkan pandangan masyarakat akan ‘profesi’ mereka (jika ‘PSK’ bisa dikategorikan sebagai profesi). Selain itu, untuk urusan komersial, para selebritis pun ramai-ramai mengenakan jilbab di bulan Ramadhan, dan melepasnya seusai Ramadhan.

Aku ingat ada seorang selebriti terkenal tahun tujuhpuluhan dan awal lapanpuluhan yang mengenakan jilbab dan kemudian beralih profesi menjadi businesswoman dan disainer jilbab di akhir lapanpuluhan. Mereka yang tidak mengenal selebriti satu ini beberapa dekade sebelumnya, tentu sangat kaget tatkala menonton film-film yang dia bintangi pada saat dia sedang naik daun karena dia sering mengenakan baju terbuka.

Tatkala menimba ilmu di American Studies UGM Jogja beberapa tahun silam, aku pun menemukan fenomena mahasiswi yang ‘berprofesi’ sebagai ‘ayam kampus’ (holy shit, I myself hate using this term, but istilah apa ya yang bisa kupakai agar lebih bebas dari ‘bias’?) namun dalam kehidupan sehari-hari mereka mengenakan jilbab.

NYAMAN

Ada beberapa responden yang menyebut ini sebagai alasan berjilbab. Sayangnya mereka tidak bersedia – atau tidak bisa – menjelaskan lebih gamblang mengapa mereka merasa nyaman tatkala berjilbab. “Nyaman sajalah mbak ...” kata salah satu dari mereka. 

PATAH HATI

Untuk alasan yang satu ini, sangat erat hubungannya dengan alasan yang akan kuuraikan di bawah ini, yakni ‘perintah agama’. Tatkala salah satu respondenku mengatakan ‘patah hati’ sebagai alasan, dia lebih lanjut menjelaskan gara-gara patah hati ditinggal menikah sang kekasih, dia mendalami ilmu agama. Ternyata dengan melakukan hal ini, dia menemukan ketenangan. Konsekuensi mendalami ilmu agama ini (bagi perempuan satu ini, tapi bisa jadi juga dialami oleh banyak perempuan lain) adalah mengenakan jilbab sebagai perintah agama kepada perempuan untuk menutupi aurat.

HUKUM AGAMA

Q.S. An-Nur ayat 31 dan Al-Ahzab ayat 59 biasanya menjadi rujukan bagi mereka yang percaya bahwa jilbab hukumnya wajib bagi kaum perempuan. 

Q.S. An Nur ayat 31: “Katakanlah kepada perempuan yang beriman “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka ...”

Q.S. Al-Ahzab ayat 59: “Hai Nabi katakanlah pada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang Mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenali, karena itu mereka tidak terganggu. ...”

Meskipun begitu, tidak banyak mufasir yang menyertakan mengapa ayat ini diturunkan kepada Nabi Muhammad. Beberapa mufasir mengatakan bahwa surat An-Nur ayat 31 turun setelah peristiwa fitnah keji terhadap Aisyah. Fitnah perselingkuhan ini akhirnya berakhir setelah ayat ini turun untuk membersihkan nama Aisyah. Sedangkan surat Al-Ahzab ayat 59 turun untuk membatasi ruang gerak keluarga Nabi. (Check HERE)

Mufasir lain lagi menitikberatkan pada frasa “illa ma dhahara minha” (kecuali apa-apa yang biasa nampak dari padanya). Dalam bukunya yang berjudul “The Quran, Women and Modern Society”, (diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia dengan judul “Matinya Perempuan; Transformasi Alquran, Perempuan dan Masyarakat Modern), Asghar Ali Engineer mengutip Muhammad Asad sebagai berikut:

“ Interpretasi saya mengenai kata ‘secara pantas’ merefleksikan interpretasi frase illa ma dhahara minha oleh beberapa sarjana Islam awal, dan khususnya oleh Al-Qiffal (dikutip oleh Razi), sebagai ‘yang seorang manusia bisa secara terbuka pertunjukkan sesuai dengan tradisi yang berlaku. Walaupun contoh tradisional hukum Islam selama beberapa abad cenderung membatasi definisi “apa yang biasa nampak dari padanya” terhadap muka, tangan dan kaki perempuan, kita dengan aman bisa mengasumsikan bahwa makna illa madhahara minha lebih luas, dan bahwa ketidakjelasan yang disengaja dari frase ini dimaksudkan untuk membiarkan selama waktu mengikat perubahan-perubahan yang diperlukan untuk perkembangan moral dan sosial laki-laki. Klausul penting dalam perintah di atas merupakan tuntutan, ditujukan dalam pengertian-pengertian yang identik bagi laki-laki dan juga perempuan, untuk menundukkan pandangannya dan sadar akan kesuciannya.” (2003:111)

Engineer juga mengutip pendapat Maulana Muhammad Ali yang menginterpretasikan ‘illa ma dhahara minha’ sebagai perhiasan yang melekat pada tubuh perempuan (atau bisa jadi mengacu ke keindahan tubuh) yang harus ditutupi.  Lebih lanjut Engineer mengatakan bahwa Alquran sengaja menggunakan ketidakjelasan dengan menggunakan frase ‘illa ma dhahara minha’ (apa yang (biasa) nampak dari padanya). Pemahaman frase ini akan selalu bersifat budaya tertentu di tempat tertentu dan zaman tertentu pula. 

Mengenai perintah menutupi dada dan kepala, Muhamad Asad menjelaskan:
“Kata benda khimar (jamaknya khumur) menunjukkan tutup kepala yang berdasarkan kebiasaan dipakai perempuan Arab sebelum dan sesudah datangnya Islam. Menurut penafsir yang paling klasik, pakaian seperti ini dipakai pada masa pra-Islam kurang lebihnya sebagai hiasan dan dibiarkan tergerai secara longgar ke punggung pemakainya; dan sejak saat itu sesuai dengan model yang berlaku pada saat itu, bagian atas jubah perempuan mempnyai lubang terbuka di bagian depan, dadanya dibiarkan tidak tertutup. Oleh karena itu, perintah untuk menutupi dada dengan khimar (satu istilah yang biasa dipakai semasa hidup Nabi) tidak perlu dikaitkan dengan penggunaan khimar seperti itu, tapiagar dada perempuan tidak tercakup dalam konsep “apa yang (biasa) nampak dari padanya” dari tubuhnya dan dengan demikian tidak boleh dipertontonkan.” (2003: 111-112)

Dari kedua ayat di atas, Engineer menyimpulkan bahwa teks kitab suci seyogyanya dibaca dalam konteks sosio-kultural seseorang. Membiarkan rambut tergerai mungkin diangga[ menarik perhatian seksual namun Alquran tidak dengan tegas menyatakan ini. Masalah ini sengaja tidak dijelaskan. Meskipun begitu, jika seseorang meminta pendapat masyarakat yang dinamis dan berkembang dan juga mencoba meletakkan suatu signifikasi dan makna teks kitab suci dalam spesifikasi sosio-kultural maka mempertontonkan rambut mungkin tidak dianggap menarik perhatian seksua di sebagian konteks sosio-kultural. Namun masalah penutup dada, paling tidak di hampir seluruh masyarakat di seluruh dunia, secara universal dianggap menarik perhatian seksual oleh karena itu Alquran secara khusus meminta perempuan untuk menutup dada dengan yang disebut ‘khimar’, kain yang umumnya digunakan oleh perempuan dan disampirkan di bahunya. 

Asbabun Nuzul

Kembali ke asbabun nuzul bahwa kedua ayat tersebut di atas diturunkan untuk menjaga nama baik Aisyah dan kemudian perempuan-perempuan yang ada dalam keluarga Nabi. 
Pada waktu itu satu hal yang sangat lazim jika dalam peperangan, pihak yang kalah dijadikan budak. Para budak perempuan bahkan sangat diperbolehkan untuk ditiduri oleh tuannya. Akibatnya para perempuan budak ini terkadang memperturutkan kata hati untuk bergelimang dalam prostitusi. Sehingga tidak heran jika mereka kemudian mendapatkan pelecehan seksual dari kaum laki-laki. 

Dan karena perintah untuk menutupi tubuh hanya berlaku pada perempuan-perempuan kalangan atas (baca perempuan ‘merdeka’) banyak perempuan kalangan menengah ke bawah yang tidak mengenakan jilbab. Konon, setelah kekalahan kaum Muslim dalam perang Uhud, banyak janda dan anak yatim perempuan sering kali menjadi objek pelecehan seksual. Untuk melindungi diri mereka sendiri kemudian mereka meniru yang dilakukan perempuan-perempuan keluarga Nabi, yakni mengenakan jilbab agar mereka dikenali sebagai perempuan ‘yang tidak memperturutkan kata hati dalam prostitusi’.

KESIMPULAN

Bahwa agama Islam diturunkan di bumi Arab dan kitab sucinya menggunakan Bahasa Arab – yang sangat multi-interpretable menurut para mufassir – sangat menuntut para pengikutnya untuk dengan cerdas membaca dan memahami apa yang tersirat dan tersurat dalam Alquran. Untuk mengurangi interpretasi yang bias jender, Zuhairi Misrawi dkk dalam buku yang berjudul “Dari Syariat Menuju Naqasid Syariat; Fundamentalisme, Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi” menawarkan penafsiran yang bersifat humanis ketimbang penafsiran normatif. 
Bagi mereka yang percaya bahwa ayat-ayat Alquran akan terjaga keasliannya oleh Tuhan sampai hari kiamat, hendaknya paham bahwa apa yang biasa orang pelajari dalam Alquran adalah interpretasi para mufassir yang sangat amat mungkin bias, baik bias jender, bias sosio-kultural, bias kelas sosial, bias ‘masa’ atau mungkin bias-bias yang lain. Hal ini tentu termasuk ayat Alquran yang sering ditafsirkan sebagai ‘perintah’ agama untuk mengenakan jilbab.

REFERENSI

Ayu Arman, Jilbab: antara Kesucian dan Resistensi di sini
Asghar Ali Engineer, Matinya Perempuan; Transformasi Alquran, Perempuan, dan Masyarakat Modern, IRCISoD, 2003
Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam. Pustaka Pelajar, 2000
Jurnal Perempuan no 31, Menimbang Poligami, Yayasan Jurnal Perempuan 2003
Jurnal Perempuan no 32, Perempuan dan Fundamentalisme, Yayasan Jurnal Perempuan, 2003
Zuhairi Misrawi dkk, Dari Syariat Menuju Naqasid Syariat; Fundamentalisme, Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi, KKIJ, 2003

Nana Podungge
PT56 23.23 170411

Tidak ada komentar:

Posting Komentar