Senin, Januari 25, 2010

Ini ibu Agus ...

Beberapa minggu yang lalu seorang rekan kerja (perempuan) menikah. Di hari pertama dia masuk kerja lagi, setelah cuti beberapa hari, seorang rekan kerja (laki-laki) menyapanya, “Bu Agus ... bagaimana kabarnya hari ini?” Rekan kerjaku yang perempuan cuek saja mendengarnya, karena kebetulan si rekan kerja yang laki-laki itu terkenal sebagai seseorang yang super jail. LOL.

Beberapa hari yang lalu, aku menerima email dari seorang sobat. Dia tiba-tiba kepikiran apakah aku – sang ‘acclaimed feminist’ – akan mengizinkan orang-orang memanggilku menggunakan nama suami (misal “Bu Didi”; kebetulan saat ini my other half bernama ‘Didi’, di saat lain belum tentu LOL) – jika aku menikah lagi.

***

Konon, kebiasaan mengadopsi nama keluarga suami di belakang nama perempuan setelah menikah dibawa ke Indonesia oleh penjajah Belanda. Kultur ‘asli’ Indonesia sendiri sebenarnya tidak mengenal sistem ‘penihilan’ eksistensi seorang perempuan gara-gara menikah. Bahkan menurut cerita seorang dosen tatkala kuliah dulu, kultur di Jawa (atau mungkin khususnya di Jogja, mengingat dosenku asli Jogja) beberapa dekade lalu, tatkala seorang laki-laki dan perempuan menikah, mereka berdua akan sama-sama menanggalkan nama mereka, kemudian memilih nama baru yang akan mereka pakai bersama.

Bahwa negara (bekas) jajahan mengadopsi kultur negara penjajah adalah suatu keniscayaan. Bahkan ada kecenderungan negara (bekas) jajahan senantiasa menganggap apa-apa yang datang dari negara penjajah jauh lebih baik, atau jauh lebih modern. Termasuk mengubah nama keluarga para perempuan setelah menikah. Bagi mereka yang tinggal di suku yang tidak menggunakan nama keluarga (misal suku Jawa), maka para perempuan yang sudah menikah akan dipanggil nama depan sang suami; misal “Ibu Agus ...” seperti rekan kerjaku yang suaminya bernama ‘Agus Sulistiyo’.

Satu hal menarik kuamati dari pengalaman my Mom. Di tahun 1970-an ketika keluarga kami tinggal di suatu daerah dimana para penghuni bisa dimasukkan kedalam kategori ‘kelas menengah ke bawah’, para tetangga memanggil my Mom namanya sendiri – Ida – dengan tambahan ‘Bulik’ untuk menunjukkan keakraban. Di kantor my Dad, tatkala mengikuti kegiatan Dharma Wanita, tentu beliau dikenal sebagai ‘Ibu Muien Podungge’, dan namanya sendiri – Ida – tidak dikenal. Ketika keluarga kami pindah ke daerah lain pada tahun 1981, my Mom ternyata juga dipanggil ‘Ibu Muien’. Usut punya usut, para penghuni di daerah ini bisa dikategorikan kedalam ‘kelas menengah ke atas’.

Kesimpulan, para perempuan yang (merasa) bisa dikategorikan masuk kelas menengah terkena dampak ‘penihilan eksistensi diri’ (maafkan kalau istilah yang kupilih terkesan sarkastik.)

Kesimpulan ini semakin menguat jika kuhubungkan dengan apa yang terjadi pada kaum perempuan kelas ‘bawah’ Amerika di abad sembilan belas. Dalam puisinya yang berjudul “Ain’t I a woman”, Sojourner Truth mengeluhkan ‘ketidakadilan’ masyarakat memandang posisinya sebagai perempuan kelas bawah, berkulit hitam pula. (Klik http://afeministblog.blogspot.com/2006/07/aint-i-woman.html ) Selain itu, Mary Ann Fitch Wescott, ibunda Charlotte Perkins Gilman (1860-1935), sang pengarang “The Yellow Wallpaper”, lebih memilih tidak bekerja, karena merasa bagian dari masyarakat kelas menengah, meski ditinggal pergi sang suami, sehingga menggantungkan hidupnya dan anak-anaknya dari belas kasihan saudara. Di abad sembilan belas itu, hanya perempuan kelas bawah saja yang tidak dikenai “The Cult of True Womanhood”, dimana salah satu ‘prinsip’nya adalah perempuan ‘sejati’ harus didomestikasi.

Kembali ke kasus “Ibu Agus ...” atau pun “Ibu Didi ...”, aku bekerja karena aku ingin bekerja, mengaktualisasikan diri, sekaligus berbagi ilmu yang kumiliki kepada orang lain, bukan karena aku seorang feminis. Di zaman sekarang di Indonesia perempuan bekerja memang tidak “eksklusif” milik perempuan kelas bawah.

Sedangkan untuk panggilan, well ... aku setuju dengan yang dikatakan Shakespeare ‘what is in a name?’ Seperti dalam postinganku beberapa bulan lalu, aku menghormati para perempuan yang dengan bangga mencantumkan nama keluarga suami di belakang nama mereka, karena memang itulah pilihan mereka. Aku yakin mereka bisa tetap memiliki eksistensi diri dengan cara lain. Bahkan jika dengan sadar mereka ‘menihilkan eksistensi diri’ dan meleburkan diri dalam eksistensi sang suami, aku tetap menghormati pilihan mereka. Di sisi lain, tentu saja aku ingin orang lain juga menghormati pilihanku jika aku ingin tetap dikenal sebagai ‘MS. NANA PODUNGGE’ atau ‘Bu Nana’ seandainya aku menikah (lagi) nanti.

Nana Podungge
PT56 23.53 21.01.2010

Beberapa tulisan lain yang kuberi judul “Family Name” bisa diakses di

http://afeministblog.blogspot.com/2006/03/family-name.html
http://afeministblog.blogspot.com/2006/07/family-name-2.html
http://nana-podungge.blogspot.com/2009/04/cedaw-convention-on-elimination-of-all.html

Agama

Kekecewaan kepada agama yang kuanut sejak kecil – karena perlakuan yang tidak adil kepada kaum perempuan dan mendapatkan jawaban ketidakadilan ini dalam ideologi feminisme – membuatku mudah mengamini tatkala aku membaca sebuah artikel yang mencuplik pernyataan para antropolog bahwa agama itu hanyalah ciptaan manusia belaka.

(Sudah pernah dengar apa kata orang Negro Amerika di abad sembilan belas? “Menurut kami, Adam itu adalah manusia kulit putih pertama di dunia ini. Dia yang membawa ketidakadilan pada kaum kulit hitam.” -> hubungkan pernyataan ini dengan para kaum kulit putih yang memperbudak kaum kulit hitam selama berabad-abad di Amerika. Lebih parahnya lagi, kata seorang dosenku, yang membawa praktek perbudakan ini ke Amerika pertama kali adalah orang-orang Arab!!! Ingat cerita tentang Bilal, budak hitam legam, yang merupakan budak pertama yang masuk Islam? Jauh sebelum Amerika – negara super power yang konon pendukung utama human rights dan kesetaraan – negara-negara Arab sudah mempraktekkan satu hal yang tidak manusiawi sama sekali.)

Para antropolog juga menyatakan bahwa Adam bukanlah manusia pertama di dunia ini.
Aku percaya bahwa dalam diri manusia, ada dua sifat positif dan negatif. Tinggal bagaimana manusia mengontrol dirinya, apakah dia akan lebih mendengarkan intuisinya sebagai manusia yang baik dan berguna bagi sesamanya – yang berarti sisi positif yang menang; ataukah mereka akan menjadi makhluk angkara murka, yang berarti sisi negatif lebih menguasai akal pikiran mereka. Contoh yang paling mudah kita ambil adalah: Hitler.

Orang-orang super jenius yang menyadari akan hal ini – dan ingin membantu menciptakan kedamaian di muka bumi – kemudian menciptakan agama, agar dunia ini jauh lebih mudah dikontrol. Mereka juga menciptakan kepercayaan adanya surga dan neraka. Ajaran agama yang mereka ciptakan mencuci otak manusia bahwa mereka akan masuk surga jika mereka berbuat baik kepada sesamanya, jika mereka terus menyembah Sang Maha Kuasa yang telah menciptakan alam semesta beserta segala isinya ini. Jika mereka melakukan yang sebaliknya, maka nerakalah tempat mereka nanti di ‘hari pembalasan’.

Salah satu ajaran agama Islam (aku tidak tahu ajaran agama lain, maka yang kuambil sebagai contoh di sini adalah agama yang kuanut sejak lahir, dan kuputuskan untuk tetap kuanut setelah aku membaptis diri sebagai seorang sekuler, dikarenakan di Indonesia warga negara wajib menganut sebuah agama LOL) adalah shalat. Surat Al-ankabuut ayat 45 menyebutkan “sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar.”

Orang-orang Muslim percaya bahwa untuk mencegah perbuatan keji dan mungkar mereka perlu melakukan shalat. Hal ini seolah-olah mereka tidak percaya diri bahwa tanpa shalat mereka tidak akan mampu mencegah diri sendiri melakukan hal-hal yang tidak selayaknya dilakukan, yang kukonotasikan menyebabkan kerugian pada orang lain. Mereka seolah tidak percaya diri bahwa akal sehat mereka bisa bekerja dengan baik, sehingga mereka memerlukan sebuah ‘sandaran hidup’ – melakukan shalat. Entah bagaimana cara akal mereka berpikir, mereka percaya bahwa mereka yang tidak melakukan shalat akan berada dalam tingkatan yang lebih rendah, karena berarti orang-orang itu seolah-olah akan melakukan perbuatan keji dan mungkar. Dengan kata lain, manusia tidak dipercaya bahwa mereka memiliki daya kontrol yang tinggi untuk memilih mana yang baik – yang menurutku berarti tidak melukai atau pun merugikan orang lain – tanpa berpedoman pada ayat tersebut, atau mana yang buruk – yang berarti melukai atau merugikan orang lain. Ini jika kita berbicara dalam tataran hablum minannas.

Dalam tataran hablum minallah, siapa di antara sang pencipta dan sang makhluk yang membutuhkan shalat? Apakah Sang Maha Kuasa dengan serta merta akan turun derajatnya menjadi makhluk jika seluruh makhluk di muka bumi ini berhenti menyembah-Nya?
Yang berkaitan erat dengan surat Al-ankabuut ayat 45 adalah surat Al-Maa’uun ayat 1-7. Terjemahan bebasnya adalah “Celakalah orang-orang yang melakukan shalat jika mereka berbuat riya’ dan enggan menolong sesamanya melakukan hal-hal yang berguna.” Di sini jelas terlihat bahwa firman Sang Maha Kuasa lebih menitikberatkan pada hablum minannas, daripada hablum minallah.

Kembali ke tesis utama tulisan ini. Akan tetapi, orang-orang super jenius yang menciptakan agama untuk ikut menjaga kedamaian dunia ini hanyalah makhluk yang tidak bisa selalu memprediksi apa yang akan terjadi di kemudian hari dari apa yang mereka ciptakan. Orang-orang yang memahami the so-called Holy Book (entah itu Alquran, Bible, atau pun jenis Kitab Suci lain) secara buta dan tidak merunut ke belakang bagaimana Holy Book itu tercipta – yakni untuk mengontrol sisi negatif manusia dan menciptakan kedamaian di dunia – justru memanfaatkan ayat-ayat tertentu demi keserakahan dan keangkaramurkaan diri sendiri karena mereka merasa sebagai ‘the chosen people’. (Betapa Hitler adalah manusia paling biadab di abad 20 karena kepercayaannya bahwa suku bangsa Arya adalah ‘the chosen people!)

Mampukah kita mengontrol sisi negatif dalam diri dengan bergantung pada akal sehat kita tanpa perlu menyandarkan diri pada apa yang konon juga diciptakan oleh manusia?

-- Nana Podungge, sang sekuler --
PT56 14.00 24.01.10