Senin, Maret 08, 2010

Mayoritas versus Minoritas

After all, the practical reason why, when the power is once in the hands of the people, a majority are permitted, and for a long period continue, to rule is not because they are most likely to be in the right, nor because this seems fairest to the minority, but because they are physically the strongest. But the government in which the majority rule in all cases cannot be based on justice, even as far as men understand it. Can there be a government in which the majorities do not virtually decide right or wrong, but conscience? (from Civil Disobedience by Thoreau)

Kutipan di atas dikirimkan kepadaku oleh seorang sobat terkasih setelah dia membaca salah satu note-ku (hasil copy paste dari seorang online buddy di FB yang berjudul “Jangan Gampang Bilang Sesat”). Dia yang sekarang sedang menimba ilmu di Ohio, yang mengenakan jilbab, yang bencinya kepada Sarkozi telah membuatku menghasilkan sebuah artikel yang kuberi judul “Sekuler Fundamentalis”.
Beberapa tahun lalu dia pernah mengirim email kepadaku, memprotes salah satu instansi di kota tempat dia tinggal karena telah melakukan satu perbuatan arogan kepada salah satu karyawannya. Si karyawan dipecat karena dia tidak pernah (bisa) menghadiri acara pengajian yang diselenggarakan oleh tempat dia bekerja, sehingga dia ditengarai bukan anggota salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, padahal instansi tempat kerjanya (mungkin) berbasis ormas Islam tersebut menilik dari namanya.
“What’s the point to be a supporter or a member of that organization? We are all Muslim, we do the religious teachings rigidly.” Tanyanya retoris.
Arogansi mayoritas telah membuat seorang karyawan kehilangan pekerjaan dan membuat istri dan anak-anaknya menderita. Dan hal ini terjadi bukan karena perbedaan keyakinan alias agama, namun “hanya” karena sang karyawan saking sibuknya mencari sesuap nasi demi anak dan istri tak bisa meluangkan waktu untuk menghadiri acara pengajian di kantor.

Beberapa minggu terakhir ini di FB aku mulai berinteraksi dengan para kaum ‘spiritualis’ yang tidak mempercayai ‘Abrahamic Faiths’ (baca Yahudi, Nasrani, Islam). Praktis aku sang sekuler menjadi pengamat antara kaum agamis (terutama Islam, yang telah ‘kugauli’ selama puluhan tahun, semenjak aku lahir) dan kaum spiritualis. Para kaum spiritualis ini pun memiliki latar belakang yang bermacam-macam. Menilik dari status-status mereka, aku bisa ‘membaca’ apakah latar belakang mereka adalah agama – baik Islam, Nasrani, maupun Buddha – ataukah satu ‘keyakinan’ yang mungkin bisa kumasukkan ke dalam kategori ‘kejawen’ (bagi orang Jawa) maupun agama ‘asli’ Nusantara yang lain.
Membaca bagiku akan senantiasa memperkaya pengetahuan, pengalaman, dan jiwa. Aku lebih mengenal berbagai jenis cara manusia mencapai ‘kesadaran diri’, untuk berdamai dengan diri sendiri yang tentunya diharapkan akan berdampak mampu berdamai dengan orang lain.
Akan tetapi, aku ternyata pun menengarai adanya satu kecenderungan beberapa kalangan – kalau boleh mengcopy salah satu status ‘Birru Sadhu’, utamanya kaum spiritualis – untuk memaksakan pendapatnya kepada pihak lain bahwa hidup ini akan lebih damai jika semua orang menganut keyakinan mereka. Seperti tertulis di salah satu status seorang spiritualis, “Jika semua orang telah tercerahkan, maka aku akan menjadi pengangguran”.
Arogansi “aku lah yang terbaik karena aku lah yang paling benar, aku lah yang akan masuk surga (bagi mereka yang percaya surga dan neraka ada) yang lain masuk neraka” ternyata dipercaya oleh banyak pihak – mungkin terlalu kebangeten jika aku bilang semua pihak. Saat ini karena Muslim adalah sang mayoritas di Indonesia, maka hujatan fundamentalis ditujukan kepada mereka. Bisa kita bayangkan jika posisi ini diambil alih oleh kaum spiritualis, maka akan ada istilah ‘spritualis fundamentalis’.
Jikalau dalam artikel-artikel yang kutulis aku lebih banyak mengkritik para fundamentalis dari kaum Islam, bisa dikatakan karena no matter what aku mengenal Islam jauh lebih dalam ketimbang agama lain, karena cintaku pada agama ini, agama yang seharusnya menjadi rahmatan lil’alamin. Namun karena telah dinodai oleh para kaum fundies, agama ini menjadi agama teroris. Jika aku diminta untuk mengkritisi agama lain, aku tak kan sanggup, karena aku tak tahu apa-apa.
Jika ada orang beragama lain mengkritik agamaku, aku hanya akan bergumam “You know NOTHING about my religion.” Islam akan tetap eksis sampai kapan pun, meski dihantam hujan asteroid sekalipun. Seperti aku pun percaya keyakinan-keyakinan lain akan tetap eksis pula (hilang satu tumbuh seribu), karena Allah yang membiarkan perbedaan-perbedaan ini ada.
Kembali ke apa yang ditulis oleh Thoreau, pemerintah memang harus memiliki ‘conscience’ – KESADARAN – bahwa yang mayoritas tidaklah selalu yang benar. (as always, it is much easier to say, it is very difficult to do.)
Seperti yang selalu kutulis di artikel-artikel sebelum ini, akan kuakhiri tulisan ini dengan ide yang sama. “Lakum dinukum waliyadin.” Mari kita selalu menghormati satu sama lain.

Nana Podungge
PT56 18.18 070310

2 komentar:

  1. Halo Mbak... :-)
    Komentar dikit ahh... heheheh... seperti yang kubilang waktu itu, karena itu aku lebih memilih menyebutnya sebagai keyakinan supaya lebih personal... karena bagi mereka yang menyebut dirinya dalam satu agama yang sama saja, bisa terdapat berbagai persepsi yang berbeda. Dan menurutku juga... sebagai seorang yang 'meyakini' tidak ada istilah mayoritas maupun minoritas karena keyakinan itu sendiri cuma satu dari dalam diri setiap orang yang meyakininya tersebut.

    BalasHapus
  2. Hemm ...
    seandainya tidak ada arogansi yang ditunjukkan oleh sekelompok manusia yang merasa 'paling berada di jalan Tuhan', aku mungkin juga tak perlu menggunakan istilah mayoritas versus minoritas Eka. :)

    Thanks for dropping by and leaving this comment. :)

    BalasHapus