Selasa, Maret 23, 2010

Kuman versus Gajah

Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak

Tulisan ini merupakan hasil renungan diri, setelah mengikuti perbincangan di status FB beberapa teman.

Nampaknya aku harus mengakui bahwa kuliahku di American Studies membawa dampak yang sangat besar dalam hidupku, mengubahku menjadi seorang feminis, dan kemudian menjadi sekuler. Namun harus kutekankan semua ini bukan disebabkan mata kuliah maupun buku-buku yang harus kubaca semata, karena toh di angkatanku American Studies 2002 (27 mahasiswa) hanya aku yang mengalami perubahan secara radikal.

Di semester satu, mata kuliah 'American History' maupun 'Early American Literature' memperkenalkanku pada kehipokritan kaum beragama. Kaum Puritan yang bermigrasi ke Amerika pada tahun 1620 dengan menaiki kapal Mayflower (meskipun jumlah kaum Puritan ini jumlahnya tidak mencapai 100%) meninggalkan tanah leluhur mereka konon karena mereka selalu ditindas oleh penguasa untuk mengikuti agama yang ditentukan untuk seluruh warga negara. Konon hanya ada boleh satu agama di Kerajaan Inggris pada abad-abad itu. Kaum Puritan memimpikan tinggal di suatu tempat dimana mereka mendapatkan kebebasan beragama sesuai dengan keyakinan yang mereka imani.

Setelah para kaum Puritan ini berhasil membentuk koloni pertama di pantai Timur Amerika, Massachusset Bay, apakah kemudian mereka mempraktikkan kebebasan beragama untuk semua penduduk termasuk pendatang yang migrasi kesana belakangan? TIDAK!!! Kaum Puritan yang 'kebetulan' memang lebih well-educated dibandingkan para penduduk lain, sehingga mereka memegang tampuk pimpinan, konon melakukan hal yang sama kepada para pendatang yang beragama beda dengan mereka. Para pendatang ini diusir dan diharuskan mendirikan koloni sendiri di tempat yang lain. Cerita dalam novel 'Scarlet Letter' karya Nathaniel Hawthorne merupakan salah satu contoh bagaimana kehidupan beragama masyarakat Amerika di abad 17 itu. Jika di kemudian hari, orang-orang yang berada di luar Amerika menganggap negara super power ini sebagai negara hedonis, jauh dari kesan relijius, ceritanya sangat panjang, yang terjadi selama berabad-abad.

Ini satu hal yang senantiasa kutulis lagi dan lagi, terutama ketika aku menulis yang bersinggungan dengan masalah spiritual.

Satu jenis kasus arogansi sang mayoritas kepada minoritas di tanah Paman Sam lain yang sering kuperbincangkan di kelas adalah keberadaan 'Indian reservation'. "What is 'Indian reservation', Miss?" pertanyaan yang sering muncul dari murid-muridku, terutama tatkala aku membahas cerpen yang berjudul 'Ta-Na-E-Ka' karya Mary Whitebird.

Dengan semakin banyaknya kaum kulit putih yang bermigrasi ke Amerika, maka keberadaan kaum kulit merah -- alias Native American -- pun terancam. Padahal di abad 17, tatkala kaum Puritan pertama kali migrasi ke tanah yang masih penuh dengan 'wilderness' itu, kaum Indian itulah yang mengajari kaum pendatang cara bercocok tanam, berburu binatang, termasuk memancing. Setahun kemudian, 1621, mulailah kaum Puritan bersama-sama dengan kaum Indian pada waktu itu merayakan Thanksgiving Day, hari saat mereka mengucapkan syukur kepada Tuhan atas keberhasilan bercocoktanam mereka, plus mereka mampu survive. Namun karena dari tahun ke tahun, dekade ke dekade, abad ke abad, semakin banyak kaum kulit putih bermigrasi kesana, dan mereka menganggap kaum Indian kurang berpendidikan, (konon pada waktu itu, orang-orang Indian belum mengenal budaya baca tulis, mereka belum memiliki huruf-huruf untuk menuangkan bahasa lisan mereka ke bahasa tulis) maka kaum kulit putih pun mulai merajalela. Lupa bahwa mereka hanyalah pendatang. Dengan semakin banyak tanah yang diklaim untuk tempat tinggal para kaum kulit putih, orang-orang Indian pun tersingkirkan. (Film "Dances with Wolves" merupakan salah satu contoh bagaimana orang-orang Indian terpinggirkan.)

Tatkala mengikuti perbincangan para fesbukers yang komplain tentang keberadaan agama import yang telah merajalela dan hampir mempunahkan (konon) agama-agama asli Nusantara, upacara-upacara ritual yang telah dijalankan selama berabad-abad, termasuk posisi terhormat kaum gay menjadi kaum yang dianggap nista. Tak perlulah aku jauh-jauh mengecam tingkah laku kaum kulit putih di Amerika yang telah hampir mempunahkan kaum Indian, di negaraku sendiri pun telah terjadi hal yang serupa!!! Arogansi mayoritas yang sebenarnya adalah para pendatang telah memaksa Indonesia menjadi tak plural. Dengan alasan bid'ah banyak upacara ritual keagamaan yang punah. Bumi Nusantara kita telah dipaksa oleh kelompok mayoritas untuk menjadi serambi Saudi Arabia?

Memang lebih mudah menemukan keborokan di tempat lain, daripada di diri sendiri.

PBIS 12.12 190310

Tidak ada komentar:

Posting Komentar