Jumat, Januari 30, 2009

Mandi dll

Tatkala mandi di shower room (tentu saja khusus untuk perempuan) setelah berenang tadi pagi, ada seorang perempuan masuk bersama anak laki-lakinya, mungkin berusia tiga tahun. Sang ibu memandikan anaknya, yang mungkin belum dia percayai bisa membersihkan diri sendiri. Terjadi percakapan ‘khas’ orang tua kepada anak kecilnya.

“Ayo, cuci rambutnya sampai bersih. Nah, begitu, rambut digosok-gosok di bawah pancuran air. Kalau tidak bersih, nanti tokeknya datang loh ke adik. Tapi kalau mandinya bersih, tokek tidak akan datang.” Kata sang ibu.

“Jadi adik harus menggosok rambut yang bersih ya Ma?” komentar si anak.

“Iya ...” sahut sang ibu, sambil ikut menggosok rambut sang anak menggunakan shampoo. Setelah itu, dia pun menyabuni tubuh anaknya.

Aku bayangkan si anak laki-laki kecil ini kelak akan tumbuh menjadi seseorang yang takut pada tokek. Dia akan belajar membersihkan diri bukan demi kesehatan kulit maupun tubuh, melainkan karena merasa takut dikunjungi seekor tokek yang menurutku berwajah menyeramkan.

*****

Ketika aku sedang ganti baju di dalam sebuah bilik, aku dengar suara seorang anak kecil laki-laki lain,

“Ini bukan tempatku mandi Ma! Tempatku di kamar sebelah. Kan aku laki-laki? Masak aku mandi di kamar bilas perempuan?”

“Lho, kamu kan belum bisa mandi sendiri? Dan Mama ga boleh masuk ke kamar bilas laki-laki. Dan karena kamu masih kecil, ga papalah kamu mandi di sini, bersama perempuan.”

---------------------------------------------------------------------------
Aku ingat sebuah artikel yang pernah kubaca mengatakan bahwa salah satu bentuk sexual education yang bisa diberikan oleh orang tua kepada anaknya yang masih kecil adalah tatkala berada di tempat umum ajaklah anak laki-laki ke kamar mandi laki-laki, sehingga dia tahu bahwa dia berjenis kelamin laki-laki. Demikian juga anak perempuan harus diajak ke kamar mandi perempuan.

Dalam kasus di atas, si anak sudah benar, dan bersifat kritis yang cerdas. Sang ibu yang kurang paham pentingnya pendidikan seks yang harus diberikan kepada sang anak sejak kecil. Batasan “kamu masih kecil, jadi boleh saja masuk ke kamar mandi perempuan meskipun kamu laki-laki” tidak jelas sampai usia berapa. Bisa jadi ini akan terus berlaku sampai si anak sudah besar. Atau, tatkala dia masih merasa belum mampu melepaskan diri dari bayang-bayang sang ibu, dia akan mengalami masa sulit tatkala harus masuk ke kamar mandi laki-laki (once again: di tempat umum), dia akan merasa tidak nyaman dengan ‘pemaksaan’ itu.

Kebetulan aku memiliki dua kenalan laki-laki yang memiliki pengalaman masa kecil yang membekas pada psyche mereka. Yang satu, sangat terobsesi dengan kaki perempuan. Dia akan sangat merasa ‘aroused’ tatkala melihat kaki perempuan. Sepanjang yang dia ingat, waktu kecil kalau dia menangis, dia akan memeluk kaki ibunya dan menangis tersedu-sedu di situ. Hal ini ternyata memberinya perasaan nyaman. Sekarang, dengan mudah dia tertarik melihat kaki perempuan, dan ada hasrat untuk memeluk kaki itu, terutama kalau dia tertarik kepada sang perempuan itu secara keseluruhan, tidak hanya fisik, namun juga sifat dan intelektualitasnya.

Yang satu lagi, terobsesi dengan diikat stagen, tatkala melakukan hubungan seks. Dia akan mendapatkan orgasme yang sempurna tatkala pasangan seksnya mengikat tubuhnya dengan stagen—termasuk tangannya, kecuali penisnya—kemudian ‘memperkosanya’ dengan lembut. Atau sebaliknya, dia mengikat tubuh pasangannya, kecuali bagian payudara dan vagina, kemudian berhubungan seks dengannya. Namun tanpa kekerasan, misal: pukulan atau sejenis kekerasan yang lain. Latar belakang obsesi ini adalah tatkala dia kecil, dia selalu keluyuran bermain, yang membuat ibunya marah. Ketika dia kembali, sang ibu akan mengikat tubuhnya dengan stagen, di salah satu kaki meja.

Nampaknya, kedua laki-laki ini serasa kembali ke hangatnya rahim sang bunda dengan cara yang berbeda: memeluk kaki, atau diikat/mengikat dengan stagen.

Kembali ke dua kejadian di kamar bilas perempuan di kolam renang Paradise Club Semarang. Aku berpendapat alangkah baiknya kalau sang bapak yang memandikan kedua anak laki-laki itu, di kamar bilas laki-laki. Mengurusi anak bukan hanya pekerjaan istri kan? Dan, tanpa embel-embel ancaman: ‘kalau ga bersih, nanti tokek datang untuk menggigitmu!’

PT56 20.45 110109

Jenggot versus UU APP

Aku baru saja membaca sebuah artikel tulisan Ulil Abshar, yang kudownload dari sebuah website beberapa minggu lalu. Karena kesibukan (NGELES) baru kali ini aku sempat membacanya. Judul artikel Ulil ini merupakan pertanyaan retorika, “Apakah bangsa Arab lebih unggul dibandingkan bangsa-bangsa lain?” Artikel ini ditulis oleh Ulil berdasarkan pemikiran seseorang yang dikenal sebagai Ibn Taymiyah. (You can just do googling using his name and the title of his book “Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim”. Or just search at www.superkoran.info for Ulil’s writing.)
Dalam tulisannya, Ulil menyebutkan salah satu anekdot yang sampai sekarang masih dijunjung tinggi para Arabian sebagai bukti Arabosentrisme yang kuat yakni pemeliharaan jenggot. Kaum laki-laki Arab memelihara jenggot karena hukumnya wajib, konon diperintahkan oleh Nabi. Selain itu, ternyata jenggot merupakan lambang ‘machoisme’ di Arab sana.
Mengapa tampil macho penting bagi seorang laki-laki?
Tentu karena berupaya untuk menarik kaum perempuan. (Bagi kaum heteroseksual tentunya.) Sesuatu yang bisa dipakai untuk menarik lawan jenis tentu bisa dikategorikan sebagai ‘seksi’. Sesuatu yang seksi tentu akan membangkitkan gairah seksual bagi mereka yang menganggap sesuatu itu seksi.
Nah, di Indonesia, segala sesuatu yang DIANGGAP akan membangkitkan gairah seksual, bisa dikategorikan sebagai porno. Dengan adanya UU APP, tentu hal-hal yang porno begini seharusnya ditutupi.
Seperti kaum perempuan yang harus menutup aurat tubuhnya karena dikhawatirkan akan membangkitkan gairah seksual yang melihatnya (laki-laki, bagi kaum heteroseksual.) UU APP telah menyulap kaum perempuan sebagai makhluk kriminal—jika mengenakan pakaian yang sedikit (apalagi banyak) terbuka, dan kaum laki-laki harus ‘dilindungi’ dari godaan meningkatnya gairah seksual. Itu sebabnya perempuan harus dipenjarakan di balik bajunya. (Lama-lama, bisa jadi seperti negara-negara Arab, dimana kaum perempuan dipenjara di balik tembok-tembok rumahnya, sehingga para perempuan Indonesia tidak berkeliaran di jalanan lagi.) Agar kaum laki-laki ‘selamat’ dari kemungkinan meningkatnya gairah seksual dalam dirinya.
Nah, kalau jenggot milik laki-laki pun bisa memicu gairah seksual kaum perempuan, bukankah seharusnya jenggot pun harus ditutupi? Laki-laki pun seharusnya memakai jilbab yang menutupi jenggotnya. Kalau laki-laki bisa jadi makhluk yang dilindungi (dari tubuh perempuan yang seksi), perempuan seharusnya dilindungi juga kan dari godaan jenggot yang seksi?
Dan kita tahu, gara-gara memelihara jenggot dipercaya sebagai ‘sunnah Nabi’ atau lebih parah lagi, ‘hukumnya wajib’, tidak hanya laki-laki Arab saja yang memelihara jenggot. Banyak laki-laki di Indonesia—juga yang bukan keturunan Arab—memelihara jenggot. Agar membuat pemiliknya nampak macho dan seksi?
Kalau tidak ingin dikatakan bahwa UU APP bersifat bias gender, harusnya kaum perempuan pun dilindungi dari kemungkinan meningkatnya gairah seksualnya dari melihat bagian tubuh laki-laki yang seksi kan?

(I myself never think that beardy men are more macho or sexier than those who don’t have beard.)

PT56 12.12 291208

Ilmiah versus Mistis


 

Bahwa seorang Andrea Hirata adalah seseorang yang menjunjung tinggi sains merupakan sesuatu yang sangat jelas terlihat dalam keempat novelnya yang tergabung dalam tetralogi LASKAR PELANGI. Alasannya tentu sangat jelas: latar belakang pendidikan yang dia terima di Universitas Sorbonne Prancis, dimana dia bergaul dengan para ilmuwan tingkat tinggi dunia. Dalam tulisan ini, aku akan lebih fokus ke MARYAMAH KARPOV, novel keempat, karena buku inilah buku yang terakhir kubaca. (You can conclude that I am just lazy to browse the other three novels to prove my statement, to prepare this post of mine. LOL.)


Seorang anak pantai desa yang terpencil, yang mendapatkan pendidikan master dalam bidang ekonomi di sebuah universitas paling bergengsi di Eropa, bermimpi untuk membuat perahu dengan tangannya sendiri! Mimpi Ikal ini bisa menjadi nyata karena dorongan dan dukungan kuat dari sang super genius, sahabatnya di kala duduk di bangku SD dan SMP. Lintang—sang Isac Newton-nya Ikal—menjadikan impian itu menjadi nyata dengan perhitungan matematika yang njlimet. Ikal—yang mengaku selalu berada di bawah bayang-bayang kegeniusan Lintang di bangku sekolah—menggabungkannya dengan kerja keras yang tanpa ampun, dengan iming-iming akan menemukan BINTANG KEJORA dalam kehidupan cintanya, A LING.


Pertanyaan selanjutnya adalah: cukupkah ilmu membuat kita mampu memahami segala misteri dalam hidup ini?


Jawabannya ada pada mozaik 60 yang berjudul NAI. Mahar—sahabat Ikal yang lain—berada pada kutub yang berseberangan dengan Lintang yang memandang segala hal dari segi ilmiah. Kebalikannya, Mahar mengimani hal-hal mistis yang tidak akan pernah masuk akal para ilmuwan di Universitas bergengsi manapun di dunia ini. Hal-hal mistis yang bagi orang-orang yang beriman kepada Tuhan akan menceburkan seseorang menjadi musyrik, ahli neraka yang berada paling di keraknya. Dalam NAI, Mahar mementalkan keimanan Ikal kepada segala yang berbau ilmiah, sehinga terpaksa mempercayai hal-hal mistis yang tidak masuk akal. Ada hal-hal dalam kehidupan ini yang tidak bisa dijelaskan hanya dari sisi ilmu. Kebalikannya, ada hal-hal yang dengan mudah terpecahkan jika kita menyandarkan kepercayaan diri kepada ilmu.


Ketika membaca perpaduan dua hal ini—yang ilmiah dan masuk akal, konon ciri khas kehidupan orang-orang modern; berbanding lurus dengan yang mistis, konon ciri khas kehidupan orang-orang zaman dahulu kala—mengingatkanku pada BILANGAN FU, novel ketiga karya Ayu Utami. Ayu Utami menjelaskannya dengan sangat sederhana: POINT OF VIEW, alias cara pandang yang berbeda. Orang-orang modern memandang kemistisan—misal: seseorang bisa memelet orang yang mencuri hatinya hanya dengan menjampi-jampi air ludah yang dikeluarkan oleh orang tersebut; atau bahwa Nyi Roro Kidul tetap hidup dan berkuasa di pantai Selatan dan selalu mempersuami semua raja-raja di Keraton Kasultanan Ngayogyakarta, ataupun Keraton di Kasunanan Mangkunegaran—dengan keukeuh menggunakan kacamata orang modern yang bersandar pada keilmiahan.


Cara mudahnya bagaimana kita bisa menghasilkan ‘pemandangan’ yang berbeda tatkala kita memandang satu permasalahan yang sama tatkala kita memandang dari sisi yang berbeda: lihatlah Tugumuda—the landmark of Semarang—dari arah Wisma Perdamaian, dan dari lantai atas Lawangsewu. Atau contoh lain: dalam salah satu adegan dalam film DEAD POETS SOCIETY, John Keating, sang guru Bahasa dan Sastra Inggris yang baru, meminta siswanya untuk naik meja dan berdiri di atasnya, memandang suasana kelas dari arah yang berbeda. “You’ll find a very different view, that is very interesting.”


Kalau kita mengaplikasikannya dalam kehidupan kita sehari-hari, betapa pentingnya memahami segala sesuatu dari kacamata yang berbeda, untuk menuju kehidupan yang lebih damai di antara kita semua, makhluk penghuni planet Bumi ini. Yang selalu menggunakan kacamata kuda yang bernama “patriarki”, pandanglah—misal, permasalahan poligami—dari kacamata feminis. Contoh lain: para religious snob—from any celestial religion—memandang bahwa Tuhan itu mencintai semua umat-Nya tidak pandang bulu, gunakanlah kacamata para kaum sekuler. Para kaum heteroseksual yang merasa diri ‘normal’, cobalah menggunakan kacamata kaum homoseksual. Dalam hal ini, para religious snob pun bisa mengaplikasikannya, sehingga tidak selalu menyerang kaum homoseksual dari satu kacamata saja, dari satu interpretasi ayat kitab Suci saja.


Jika para pengunjung dan pembaca blogku ‘membalikkannya’ dengan mengatakan, “Na, cobalah kamu pahami kasus poligami bukan dari interpretasi Alquran yang feminis, namun dari interpretasi yang patriarkal...” oh well, aku telah hidup menggunakan kacamata TUNGGAL interpretasi Alquran yang patriarki selama 35 tahun takala aku mendapatkan pencerahan dari ideologi feminisme, so, I do understand it very well.


Kembali ke cara pandang yang ilmiah dan mistis (baik dalam MARYAMAH KARPOV maupun BILANGAN FU), well, hidup ini memang sangatlah kaya dan kompleks. Mari kita menikmatinya dengan cara saling toleran satu sama lain, untuk menciptakan kehidupan yang lebih indah dan damai.


LL Tbl 11.34 100109