Rabu, Februari 04, 2009

Feminisme a la Nana Podungge

Aku berpendapat bahwa mereka yang MENGHARUSKAN kaum feminis (atau seseorang yang mengaku diri sebagai seorang feminis) termasuk salah satu dari ideologi feminisme yang ada selama ini justru adalah orang-orang yang tidak begitu memahami ideologi feminisme. Atau mereka sedang belajar memahami ideologi ini sehingga yang mereka ketahui baru bagian luarnya saja, dan kemudian berbicara tentang feminisme seolah-olah mereka sudah ‘khatam’ mempelajarinya. Mereka berpikir bahwa tak ada seorang feminis pun yang bisa bebas dari klasifikasi ideologi feminisme tertentu, bahwa seseorang yang mengaku sebagai feminis kemudian harus mengikuti ‘ajaran’ ideologi feminisme yang mereka anut secara khusyuk, dan tidak diperbolehkan mengamalkan ideologi feminisme yang lain. Misal: seorang feminis Marxist tidak boleh ‘mengamalkan’ ajaran ideologi feminisme radikal, atau liberal, atau yang lain. Dengan cara begini, mereka memperlakukan ideologi feminisme selayaknya suatu agama dengan berbagai macam denominasi. Seorang Kristen Protestan tidak boleh melakukan ibadah yang diimani seorang Kristen Advent.
Dilihat dari sejarah pembentukan gerakan perempuan—yang di awal abad 20 mendapatkan julukan ‘feminisme’—memang gerakan ini terbagi menjadi tiga tahap utama. Tahap pertama dimulai dari perjuangan kaum perempuan (Amerika) di pertengahan abad 19, dengan mengadakan KTT perempuan pertama pada tahun 1848, di Seneca Falls. Perjuangan kaum perempuan tahap pertama ini digawangi oleh Lucretia Mott and Elizabeth Cady Stanton. Para pejuang perempuan ini, bekerja sama dengan para pejuang abolisionis—kesetaraan kaum kulit hitam dengan kulit putih—memperjuangkan kaum perempuan untuk mendapatkan hak pilih dalam Pemilu, sebagai satu-satunya tujuan. Tahap kedua mengacu pada perjuangan yang digawangi oleh Betty Friedan pada tahun 1960-an, yang memperjuangkan hak untuk bekerja di luar rumah. Tahap ketiga yang juga dikenal sebagai postfeminisme, dimulai awal tahun 1990-an. Ada benang merah yang bisa ditarik dari tahap pertama, kedua, dan kemudian ketiga, dengan alasan masing-masing mengapa muncul gerakan pada tahap kedua dan ketiga.
Di artikel ini aku akan menuliskan proses gerakan perempuan ini, dari tahap pertama, kedua, dan ketiga, secara singkat. Dan karena latar belakang pendidikanku adalah American Studies, yang membuatku banyak membaca buku-buku sejarah Amerika, maka aku akan mendasarkan tulisan ini pada sejarah gerakan perempuan di benua yang konon ditemukan oleh Christopher Columbus ini.
Amerika memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 4 Juli 1776 dan melepaskan diri dari pengaruh kuat pemerintahan kolonialisasi Inggris, dan mulai memiliki pemerintahan sendiri. Sejak pertama diselenggarakan Pemilu pemilihan presiden, kaum perempuan tidak diikutkan. Masyarakat Amerika yang waktu itu masih sangat mendasarkan diri pada ajaran agama beranggapan bahwa pemilihan presiden, urusan pemerintahan negara adalah urusan laki-laki. Revolusi Industri belum memasuki Amerika, sehingga banyak masyarakat memiliki mata pencaharian bercocok tanam, maupun home industri kecil-kecilan. Baik laki-laki maupun perempuan memegang peran sebagai ‘breadwinner’ alias pencari nafkah.
Di awal abad 18, Revolusi Industri mulai mempengaruhi kehidupan masyarakat Amerika. Dengan berdirinya banyak pabrik, kaum laki-laki mulai meninggalkan rumah untuk bekerja, mendapatkan uang. Merasa bersalah karena telah berubah menjadi kaum materialistis, dan mulai meninggalkan kehidupan relijiusitas yang cukup tinggi, seperti para pendahulu mereka di abad-abad sebelumnya, kaum laki-laki memasrahkan peran untuk menjaga kerelijiusan ini pada pundak kaum perempuan. Selain itu juga kaum perempuan masih bertanggungjawab untuk melanjutkan home industry yang telah mereka lakukan sejak abad sebelumnya.
Sebagai sesama pencari nafkah, kaum perempuan pada waktu itu seharusnya merasa setara dengan kaum laki-laki. Namun karena mereka tidak dilibatkan dalam kehidupan bernegara—dengan ikut memilih pada Pemilu—kaum perempuan memperjuangkan kesetaraan dalam Pemilu ini. Mereka bekerja sama dengan para pejuang abolisionis, karena kaum kulit hitam dianggap warga negara paling hina. Praktek perbudakan yang telah dilakukan selama kurang lebih dua abad menunjukkan betapa kaum kulit hitam dianggap jauh di bawah kaum kulit putih.
Sementara ini, pihak gereja yang merasa bertanggungjawab untuk menjaga kerelijiusitas negara, mencetuskan ‘the Cult of True Womanhood’; agar kaum perempuan tidak ikut-ikutan meninggalkan rumah untuk bekerja di pabrik-pabrik yang banyak bermunculan setelah Revolusi Industri. Seorang perempuan adalah seorang perempuan sejati jika dia memiliki sifat ‘pious’ (relijius), ‘pure’ (suci), ‘submissive’ (mengalah), dan ‘domestic’ (tinggal di rumah).
Kaum perempuan Amerika akhirnya mendapatkan hak pilih pada tahun 1920, setelah berjuang selama kurang lebih tujuhpuluh tahun.
Merasa telah mendapatkan apa yang mereka perjuangkan selama tujuh dekade, hal ini membuat semangat para pejuang perempuan melemah.
Perang Dunia kedua membuat banyak kaum laki-laki harus berangkat perang. Hal ini tentu membuat banyak pabrik kehilangan pekerja. Untuk mengisi kekosongan ini, kaum perempuan pun dipekerjakan. Namun tak lama kemudian, kaum perempuan didepak lagi, setelah Perang Dunia usai. Perempuan kembali lagi ‘dikurung’ di rumah, menjadi ‘the angel of the house’, penjaga kerelijiusan rumah tangga.
Hal ini membuat para perempuan yang kritis dan intelektual seperti Betty Friedan bertanya, “setelah menjadi seorang ibu rumah tangga yang baik, lalu bagaimana?” Mereka tidak ingin terus menerus dikurung di dalam rumah.
Cara perempuan memandang kesetaraan dengan kaum laki-laki pun bergeser, tidak cukup hanya dengan mendapatkan hak pilih dalam Pemilu. Mereka pun ingin dengan bebas memilih karir di luar rumah.
Simone de Beauvoir dengan buku fenomenalnya ‘The Second Sex’ memberi inspirasi kepada para pejuang gerakan perempuan bahwa agar tidak menjadi ‘the second sex’, perempuan harus menjadi seperti laki-laki, mulai dari cara berpikir, berpakaian (agar tampak maskulin), bertingkah laku, dll. Itu sebab banyak ditemukan pejuang perempuan di dekade 1960-an berpakaian ala laki-laki. Perempuan harus menjadi seperti laki-laki, agar setara.
Seiring waktu berjalan, para pejuang perempuan menemukan inti utama kesetaraan perempuan dan laki-laki, yakni kontrol pada diri sendiri, pada cara berpikir, dan tubuh. Seorang perempuan memiliki hak penuh untuk mengatur hidupnya sendiri, tanpa kontrol dari orang lain—misal sang ayah, suami, atau saudara laki-laki. Masyarakat tidak berhak memaksa seorang perempuan untuk berkarir di rumah maupun di ranah publik; perempuan berhak untuk memilih tampil feminin maupun maskulin, perempuan memiliki hak penuh untuk memilih berkarir ataupun menjadi ibu rumah tangga, untuk menikah atau melajang seumur hidup, dll. Prinsip yang paling penting di sini adalah perempuan menentukan pilihannya sendiri. Di awal kemunculannya gerakan perempuan tahap ketiga ini sempat dituduh sebagai ‘anti feminisme’, namun hal ini hanyalah kesalahpahaman belaka.
Jika mengacu ke ‘the cult of true womanhood’, perempuan tetaplah menjadi perempuan ‘sejati’ dengan memilih untuk menjadi apapun, tanpa dibatasi keempat prinsip utamanya; piety, purity, submissiveness, domesticity. Tidak ada perempuan yang lebih sejati daripada perempuan lain hanya karena hal-hal sepele.
Tak ada satu pun yang tidak berubah dalam hidup ini karena hukum alam lah yang mengatakan bahwa perubahan selalu terjadi seiring waktu berjalan. Demikian pula dalam gerakan perempuan.
Nana Podungge
PT56 09.59 010209
(terjemahan postingan "Feminism", bisa diakses di
http://afeministblog.blogspot.com/2008/12/feminism.html )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar